MENGAGUNGKAN KUBURAN ASALNYA PENYEMBAHAN BERHALA

MENGAGUNGKAN KUBURAN ASALNYA PENYEMBAHAN BERHALA

Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir (w 774 H) berkata : “Asal penyembahan terhadap berhala adalah sikap berlebihan (dalam mengagungkan) terhadap kuburan dan penghuninya”. (Al-Bidayah wan Nihayah : X/703).

—————

HUKUM MENGAGUNGKAN KUBURAN

HUKUM MENGAGUNGKAN KUBURAN

Apakah mengagungkan kuburan dengan mengusap dan menciumnya bagian dari ajaran Islam ?

Berikut ini keterangan para Ulama bermadzhab Syafi’i tentang hukumnya mengagungkan kuburan.

1. Ulama besar ahli tafsir yang bermadzhab syafi’i, al-Hafidz Imam Ibnu Katsir berkata : “Asal penyembahan terhadap berhala adalah sikap berlebihan (dalam mengagungkan) kuburan dan penghuninya”. Al-Bidayah wan Nihayah : X/703)

2. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Barangsiapa terbetik dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barakah, maka keyakinan itu tidak lain bersumber dari kebodohan dia dan kelalaiannya sebab keberkahan itu hanya bisa didapat dengan melaksanakan syariat. Bagaimana mungkin keutama’an diupayakan dengan perbuatan yang bertolak belakang dengan kebenaran ?!. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab:VIII/275).

3. Imam al-Ghazali (w 505H) berkata : “Sesungguhnya mengusap dan mencium kuburan merupakan adat kaum yahudi dan nasrani”. (Ihya’ Ulumuddin I/254).

4. Imam al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 845 H) di dalam kitabnya yang sangat bagus berkata : “Syirik dalam bentuk perbuatan seperti sujud kepada selain Allah, Thawaf bukan di Baitullah (Ka’bah), Mencukur rambut dalam rangka beribadah dan tunduk kepada selain Allah, mencium batu selain hajar aswad yang ia sebelah kanan Allah di bumi, mencium kuburan atau mengusapnya dan sujud kepadanya”. (Tajridut Tauhid al-Mufid hal. 31).

____________

AMALAN-AMALAN DARI ORANG HIDUP YANG BERMANFA’AT BUAT MAYAT

AMALAN-AMALAN DARI ORANG HIDUP YANG BERMANFA’AT BUAT MAYAT

Selain dari sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak soleh yang mendo’akannya. Orang yang sudah meninggal dunia juga akan mendapatkan manfa’at dari amalan-amalan yang dikerjakan oleh orang yang masih hidup.

Dan berikut beberapa amalan yang di maksud,

1. Do’a kaum muslimin
2. Tanggungan hutang si mayat yang di lunasi
3. Qodho’ puasa
4. Qodho’ nadzar
5. Sedekah atas nama si mayat
6. Haji atau umroh atas nama si mayat

1. Do’a kaum muslimin

Do’a kaum muslimin yang di tujukan untuk orang yang sudah meninggal, akan bermanfa’at baginya. Kita pun di perintahkan untuk menshalati mayat, yang artinya do’a kita bermanfa’at bagi mayat.

Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdo’a : “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“. (Q.S Al-Hasyr: 10).

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfa’atan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutama’an iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfa’at satu dan lainnya dan dapat saling mendo’akan”. (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ
الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di sa’at saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”. (H.R Muslim no. 2733).

Do’a kepada saudara kita sesama muslim yang sudah meninggal dunia adalah diantara do’a yang tidak di ketahui oleh orang yang di do’akannya.

2. Tanggungan hutang si mayat yang di lunasi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunda menshalati mayat karena masih ada tanggungan hutang dua dinar, dan ketika Rasulullah di beritahu hutangnya sudah di lunasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,

الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ

“Sekarang barulah dingin kulitnya”. (H.R. Ahmad, III/330).

Lalu kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya.

3. Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang akan mempuasakannya”. (H.R Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

Terdapat perbeda’an pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud dalam hadits di atas. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa nadzar, atau puasa yang lainnya ?

Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :

عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya”. (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih).

4. Sodaqoh atas nama si mayat

Aisyah radliyallaahu ’anha berkata, bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dan berkata :

يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Ya”. (HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004).

5. Menunaikan qodho’ nadzar si mayat

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,

اقْضِهِ عَنْهَا

“Tunaikanlah nadzar ibumu”. (H.R Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638).

6. Haji atau umrah atas nama si mayit

Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».

Istri Sinan bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits ini shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Dalam riwayat lain di sebutkan,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu”. (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).

Begitu pula boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,

عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».

Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأ بِنَفْسِكَ

“Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).

Juga didukung oleh hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah ?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya ?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962).

MEMAHAMI TAFSIR AYAT 38-39 SURAT AN-NAJM

Allah Ta’ala berfirman :

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)

“Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.

Penjelasan ayat :

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Nabi yang juga di kenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an dari kalangan para Sahabat berkata tentang ayat di atas.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (di hapus) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah Ta’ala :

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidak mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (Q.S At-thur: 21).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan : “Dalam ayat tersebut Allah tidak bermaksud menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfa’at dari orang lain, Namun maksudnya, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namun demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan do’a di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”. (Al-Fatawa, 24/366).

Sedangkan Imam As-Syaukani tentang ayat di atas mengatakan : “Maksudnya adalah tidak ada dari segi ke adilan (min thariqil adli), adapun ia dari segi karunia (min thariqil fadhli), (bisa seseorang itu mendapatkan apa yang tidak dia usahakan)”. (Nailul Authar, IV/114).

Sedangkan Imam Ibnu Katsir berhujjah dengan ayat di atas, tentang tidak sampainya baca’an Al-Qur’an yang di kirimkan kepada mayat. Berikut perkata’an Imam Ibnu Katsir,

أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء

”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa baca’an yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala baca’an), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”. (Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13: 279).

Namun meskipun Imam Ibnu Katsir menyatakan tentang tidak sampainya baca’an Al-Qur’an kepada mayat, adapun untuk do’a dan sedekah, Imam Ibnu Katsir menegaskan akan adanya ijma (kesepakatan ulama) tentang sampainya hal tersebut.

Sebagaimana tertulis :

فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما.

Adapun do’a dan sedekah maka itu adalah hal yang disepakati akan sampainya (untuk mayit), ini kekhususan dari syariat atas keduanya.

با رك الله فيكم

By : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί

https://agussantosa39.wordpress.com/category/01-islam-dakwah-tauhid/01-islam-sudah-sempurna/

=================

TIGA PERKARA YANG TETAP AKAN MENDATANGKAN PAHALA KEPADA MAYAT

TIGA PERKARA YANG TETAP AKAN MENDATANGKAN PAHALA KEPADA MAYAT
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
.
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak yang sholeh yang mendo’akannya”. (H.R Muslim no. 1631).
.
Hadits diatas menerangkan, bahwa ada tiga perkara yang tetap akan mendatangkan pahala kepada orang yang sudah meninggal. Tiga perkara tersebut yaitu ; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at (ilmu agama), dan anak salih yang mendo’akannya.
.
Ketika seorang muslim hidup di dunia dan dia mengerjakan amal ibadah seperti ; shalat, haji atau umroh, berpuasa, berjihad dan lainnya, maka ia akan mendapatkan balasan pahala. Tentunya dengan syarat ; ikhlas dan sesuai tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
.
Namun ketika sudah mati, dia tidak akan mendapatkan balasan pahala ibadah lagi. Karena memang sudah tidak bisa mengerjakan amal ibadah.
.
Akan tetapi berdasarkan keterangan hadits di atas, ada tiga perkara yang tetap akan mendatangkan pahala bagi seorang muslim walaupun dia sudah meninggal dunia.
.
Tiga perkara tersebut sebagaimana yang di sebutkan di dalam hadits di atas yaitu ; sodakoh jariyah, ilmu agama yang di ajarkan, dan anak soleh yang mendo’akannya.
.
Yang di maksud sodakoh jariyah seperti : membangun masjid, membangun madrasah, jalan, menanam pohon, jembatan, membuat sumur umum atau pasilitas umum lainnya yang di wakafkan untuk kemaslahatan umat, terutama untuk kepentingan ibadah.
.
Ilmu yang bermanfa’at yaitu, ilmu syar’i (ilmu agama) yang di ajarkan kepada orang lain. Sehingga manusia terlepas dari kebodohan terhadap agama.
.
Dan anak sholeh yang mendo’akannya. Segala kebaikan yang di lakukan seorang anak yang soleh, maka orang tuanya akan mendapatkan balasan pahala dari kebaikan anaknya yang soleh. Karena kesolehan seorang anak merupakan hasil dari usaha orang tuanya dalam memberikan pendidikan agama terhadapnya. Sebagaimana di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
.
“Dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk bagian dari usaha kalian”. (HR. at-Tirmidzi: 1358).
.
Sangat beruntung bagi seorang muslim, apabila dia meninggal dunia tetap mendapatkan aliran pahala dari amalan-amalan yang di lakukannya ketika hidup.
.
Ketiga perkara yang tetap akan mendatangkan pahala kepada orang yang sudah meninggal dunia yang di sebutkan dalam hadits di atas, harus di jadikan motivasi bagi setiap muslim untuk menafkahkan harta kita di jalan Allah. Memotivasi untuk sungguh-sungguh mencari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Dan memotivasi mendidik anak-anak dengan pendidikan agama yang akan menjadikannya sebagai anak soleh. Sehingga walaupun kita sudah meninggalkan dunia yang fana ini, kita tetap mendapatkan balasan pahala yang melimpah sebagai buah dari usaha kita.
.
Sebagai bahan renungan bagi kita semua,
.
Adakah dari sebagian harta kita yang sudah kita infaqkan untuk sarana ibadah, pembangunan masjid atau mushola misalnya, sehingga manusia bisa shalat bisa ta’lim dan lainnya. Atau kita membuat fasilitas umum yang mendatangkan kemaslahatan buat masyarakat misalnya sumur umum, sehingga manusia bisa mandi, mencuci, berwudhu atau minum. Atau kita menanam pohon, sehingga manusia bisa mengambil manfa’at dari pohon yang kita tanam ?
.
Sudahkah kita sungguh-sungguh mencari ilmu agama, kemudian kita mengajarkannya, menyampaikannya kepada orang lain. Sehingga manusia terlepas dari kebodohan, dari berbagai kepercaya’an kepada tahayul, dari berbagai macam amalan-amalan baru dalam ibadah (bid’ah), dari berbagai macam ke syirikan. Sehingga manusia kembali kepada ajaran yang murni, bukan ajaran-ajaran yang menyimpang dan sesat ?
.
Sudahkah kita mendidik dan membimbing anak-anak kita dengan ilmu agama, sehingga mereka faham tujuan Allah Ta’ala menciptakan manusia, menjadikan mereka faham bahwa hidup harus bisa memberikan kontribusi positif bagi alam dan kemanusia’an, bahwa hidup harus membangun (konstruktif) bukan sebaliknya merusak, menghancurkan (destruktif). menjadikan mereka mengerti bagaimana seharusnya beribadah yang benar ?
.
Semoga apabila nanti habis masanya kita hidup di dunia ini, kita memasuki alam berikutnya yaitu alam barzah, kita tetap bisa mendulang pahala yang banyak yang tetap mengalir menyertai kita. Aamiin.
.
.
با رك الله فيكم
.
By : Дδµ$ $@ŋţ๏$ą $๏๓ąŋţяί
.
https://agussantosa39.wordpress.com/category/01-islam-dakwah-tauhid/01-islam-sudah-sempurna/
.
.
=================

HUKUM MENGIRIMKAN PAHALA KEPADA MAYAT

HUKUM MENGIRIM PAHALA KEPADA MAYAT

Mengirimkan pahala dari orang yang masih hidup kepada mayat dari amalan-amalan yang jelas ada dalilnya, tidak ada perselisihan diantara para Ulama. Amalan-amalan yang dimaksud ada dalilnya yaitu : Ibadah haji, shodaqoh, dan melunasi hutang simayat yang dilakukan oleh keluarganya. Begitu pula do’a dari orang yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal dunia di benarkan oleh syari’at.

Berikut dalil-dalil yang menerangkan sampainya amalan-amalan orang yang masih hidup yang di tujukan kepada orang yang sudah mati.

– Hadits dari Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dan berkata :

يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Ya”. (HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004).

– Hadits dari Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”. (HR. Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud no. 2400).

– Hadits dari Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu dimana ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الآن حين بردت عليه جلده

“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya”. (HR. Al-Hakim 2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401).

Hadits-hadits diatas menerangkan, bahwa amalan-amalan yang dilakukan orang yang masih hidup bermanfa’at bagi orang yang sudah mati.

MENGIRIMKAN PAHALA BACA’AN AL-QUR’AN KEPADA MAYAT

Adapun mengirimkan pahala bac’an Al-Qur’an kepada mayat, ada perselisihan diantara para Ulama.

Ada dua pendapat yang berbeda dari para Ulama tentang permas’alahan kirim pahala baca’an Al-Qur’an,

– Pendapat pertama :

Bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup, yang pahalanya diperuntukkan kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan pahalanya akan bermanfa’at bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur.

(Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy [tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth] hal. 664).

Pendapat pertama yang membolehkan mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an dan dzikir dan akan sampainya pahalannya dengan mengqiyaskan kepada dalil-dalil yang sudah disebutkan diatas, yaitu hadits-hadits yang menyebutkan bolehnya kirim pahala ibadah haji, shodaqoh dan melunasi hutang orang yang sudah meninggal.

Para Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an dan dzikir, diantaranya Imam Ibnu Taimiyyah.

Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang pembaca’an Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab :

يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه. والله أعلم.

”Sampai kepada mayit (pahala) baca’an-baca’an dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala, apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam”. (Majmu’ Fataawaa 24/324).

– Pendapat ke dua :

Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.

(Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy [tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth] hal. 664).

Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh para Ulama yang berpendapat tidak akan sampainya mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an yaitu,

1. Firman Allah ta’ala :

وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya” (QS. An-Najm: 39).

Ayat tersebut mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.

2. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfa’atkan, atau anak shalih yang mendo’akannya”. (HR. Muslim no. 1631).

Para Ulama yang berpendapat tidak sampainya mengirimkan pahala kepada orang yang sudah meninggal diantaranya Imam Nawawi,

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت…….. ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Adapun baca’an Al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi. Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm: 39), dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal, shadaqah jaariyah, ilmu yang bermanfa’at, atau anak shalih yang mendo’akannya”. (Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90).

Selain Imam Nawawi juga ada Imam Al-Haitsami, dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah Imam Al-Haitsami berkata :

الميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.

“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu), bahwa baca’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala baca’an itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan”. (QS. An-Najm : 39). (Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami 2/9).

Ulama lainnya yaitu Imam Ibnu Katsir. Dalam Tafsirnya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 Imam Ibnu Katsir berkata :

أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء

”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa baca’an yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala baca’an Al-Qur’an), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”. (Tafsir Al-Qur’aanil ’Adhiim li-Bni Katsir).

• Mengambil pendapat yang paling kuat

Setelah memperhatikan pendapat dari kedua belah pihak dan dalil-dalil yang dibawakannya, maka pendapat yang paling kuat dalam mas’alah ini, adalah pendapat yang menyatakan tidak sampainya pahala baca’an Al-Qur’an yang dikirimkan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah mati.

Orang yang sudah meninggal dunia tidak akan mendapatkan balasan pahala dari amalan-amalan orang yang masih hidup kecuali, kiriman do’a, ibadah haji atau umroh, sedekah, qurban, dan hutang yang di lunasi oleh orang yang masih hidup. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.

QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat sendiri.

Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu juga menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfa’at baginya.

Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan pahala yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua merupakan kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish) atas keumuman ayat.

Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang menguatkan pendapat ini.

Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma berkata :

لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة

”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum”. (HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih).

Yang dimaksud Ibnu Abbas adalah, kita tidak dibenarkan untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) yang pahalanya di peruntukkan bagi orang lain (baik yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan puasa.

Adapun Hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”.

Terdapat perbeda’an pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa nadzar, atau puasa yang lainnya ?

Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :

عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya”. (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih).

Alasan lain yang menguatkan pendapat tidak sampainya kiriman pahala baca’an Al-Qur’an kepada mayat ialah, Bahwa hukum asalnya dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Dan masalah mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal tidak ada dalil yang menyebutkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkannya.

Alasan lainnya, tidak ada riwayat yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an atau dzikirnya kepada keluarganya atau kepada para Sahabat yang dicintainya yang sudah meninggal. Padahal pada waktu itu banyak diantara para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal dunia karena peperangan. Juga tidak ada riwayat yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an adau dzikirnya diperuntukkan untuk istri tercintanya Khadijah yang sudah wafat.

Begitu pula tidak ada riwayat yang menyebutkan para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengirimkan pahala baca’an Al-Qur’an atau dzikirnya diperuntukkan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Padahal para Sahabat adalah orang-orang yang paling faham tentang syari’at Islam.

– Mengambil pendapat para Ulama dalam suatu permas’alahan yang padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya adalah diantara penyebab perselisihan diantara umat Islam yang tidak ada ujungnya.

– Mengqiyaskan amalan-amalan yang tidak ada dalilnya terhadap amal ibadah yang jelas dalilnya, menjadi penyebab terbukanya lebar-lebar pintu kesesatan, yang dimanfa’atkan ahli bid’ah untuk membuat-buat amalan-amalan baru dalam agama (bid’ah). Ahli bid’ah dengan sesuka hatinya akan memasukkan segala macam yang di anggapnya baik kedalam agama Allah yang mulia.

Sa’at ini sebagian dari umat Islam memberikan upah (membayar) orang untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian pahalanya dikirimkan kepada orang yang sudah wafat. Bagaimana pahal baca’an Al-Qur’an nya bisa sampai kepada mayat, sementara mereka melakukannya bukan karena Allah (ikhlas), tapi melakukannya karena upah dengan tarif yang sudah ditetapkan.

Padahal tentu saja amalan seperti ini tidak ada dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimasa para Sahabat, juga dimasa para Imam madzhab.

Agus Santosa Somantri

SYUBHAT-SYUBHAT TABARUK DENGAN MAKAM RASULULLAH

SYUBHAT-SYUBHAT TABARUK DENGAN MAKAM RASULULLAH

Orang-orang yang memperbolehkan pencarian berkah dengan makam Nabi melontarkan beberapa syubhat yang bersifat syar’i maupun naqli (nalar). Mereka menjadikannya sebagai hujjah atas diperbolehkannya atau disunnahkannya sebagian bentuk tabarruk pencarian berkah tersebut.

Di antara syubhat-syubhat itu ialah :

– Syubhat pertama

Jika meminta syafa’at dan doa dari Rasulullah semasa hidup beliau dibenarkan, maka berarti diperbolehkan pula meminta hal tersebut dari beliau setelah beliau wafat, di samping bahwa beliau tetap hidup di dalam kubur. Hidup di alam kubur juga di alami oleh para syuhada’, seperti halnya para Nabi. Akan tetapai, tingkatan para Nabi itu lebih tinggi dan lebih sempurna daripada para syuhada’.

Bantahan :

Pertama : Dalam nash-nash syar’i tidak dijumpai adanya dalil, yang shahih maupun yang dha’if, yang menunjukkan bolehnya meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah di sisi makam beliau.

Nabi sendiri mengabarkan akan memberikan syafa’at pada hari kiamat, tidak pernah mengatakan bahwa beliau di dalam makamnya akan memberikan syafa’at kepada seseorang. Justru, umumnya nash-nash yang ada melarang untuk meminta syafa’at dari orang-orang yang telah meninggal dunia.

Karena inilah, tidak seorang pun dari kalangan sahabat, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, dan semua kaum muslimin, yang meminta dari Nabi setelah beliau wafat agar memberinya syafa’at dan tidak juga meminta sesuatu kepada beliau. Tidak seorang pun dari kalangan imam-imam kaum Muslimin yang menyebutkan hal tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Jika meminta do’a kepada para Nabi yang telah meninggal dunia diperbolehkan, maka apa yang menjadi alasan bahwa para sahabat Rasulullah tidak meminta dari beliau agar beliau mendo’akan mereka setelah beliau wafat, dan justru mereka beralih ke al-Abas bin Abdul Muthtahlib (ketika meminta hujan yang dilakukan oleh Umar), padahal mereka adalah umat yang paling mengetahui dan paling berantusias dalam hal kebaikan.

Kedua : Berdalil atas adanya syafa’at tersebut dengan kehidupan Rasulullah di dalam makam beliau, maka masalah ini yaitu masalah kehidupan para Nabi di dalam makam-makam mereka, telah menjadi ajang perdebatan di kalangan ulama. Walau demikian, klaim semacam ini dapat dijawab dengan penjelasan sebagai berikut :

Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah tetap hidup di dalam makam beliau. Jika para syuhada saja tetap hidup di dalam kubur-kubur mereka, tentunya para Nabi lebih berhak dan lebih utama dari mereka dalam hal ini. Akan tetapi, yang menjadi masalah di sini adalah pengetahuan tentang hakikat kehidupan dan perbedaan antara kehidupan di kubur dengan kehidupan di dunia.

Kehidupan alam barzakh adalah satu di antara kehidupan ghaib. Tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah. Karena itulah, kehidupan ini tidak dapat dianalogikan dengan kehidupan dunia, sebagaimana kehidupan akhirat tidak dapat dianalogikan dengannya. Tidak berarti kehidupan para Nabi dan Syuhada seperti ketika mereka berada dalam kehidupan dunia, mereka makan, minum, menikah, dan melakukan apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup. Seandainya kehidupan alam barzakh mereka seperti kehidupan dunia, tentunya tidak sah menyandangkan kata mati kepada mereka.

Di antara yang menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya adalah Nabi dalam kehidupan alam barzakhnya tidak mengetahui apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini.

Bukti akan hal ini adalah hadits yang terdapat dalam ash-shahihain dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah berdiri berkutbah kepada kami menyampaikan suatu nasihat, beliau bersabda :

أَلاَ وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِى فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِى. فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ. فَأَقُولُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ ( وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِى كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) قَالَ فَيُقَالُ لِى إِنَّهُمْ لَمْ يَزَالُوا مُرْتَدِّينَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ مُنْذُ فَارَقْتَهُمْ

“Ingatlah, sesungguhnya akan didatangkan beberapa orang laki-laki dari umatku, lalu mereka diambil dan ditempatkan di golongan kiri, lalu aku berkata, ‘Wahai Rabb, selamatkanlah sahabat-sahabatku.’ Lalu dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelahmu.’ Lalu aku berkata sebagaimana seorang hamba yang shalih berkata, “..dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engaku mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 117-118). Beliau bersabda, ‘lalu dikatakan kepadaku, ‘sesungguhnya mereka senantiasa kembali ke belakang mereka (murtad) sejak engkau berpisah dengan mereka.” (HR. Bukhari, V/191 dan Muslim, IV/2194)

Dengan demikian, jelaslah bagi kita adanya perbeda’an hakikat kehidupan Rasulullah di dalam makam beliau dengan kehidupan dunia.

Atas dasar itulah, maka berhujjah atas dibolehkannya meminta syafaat atau doa dari Rasulullah setelah beliau wafat, karena beliau hidup di dalam makam beliau, adalah batil karena antara dua kehidupan ini tidak bisa diqiyaskan.

– Syubhat kedua

Disyariatkan meminta hujan dengan menyingkap makam Rasulullah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abul Jauza Aus bin Abdullah, dia berkata, ‘penduduk Madinah pernah mengalami masa kemarau yang sangat memberatkan, lalu mereka mengadu kepada Aisyah, kemudian dia berkata, ‘lihatlah makam Nabi, buatlah lubang sampai ke langit sehingga tidak ada atap di antaranya dan langit.’ Abul Jauza berkata, ‘Lalu mereka melakukannya, maka kami dihujani hingga rerumputan tumbuh dan unta menjadi gemuk, sampai-sampai ia menjadi berat karena banyaknya lemak. Maka tahun itu dinamakan tahun fatq (kesuburan dan kebaikan yang banyak).’ (Sunan Ad-Darimi, I/43).

Bantahan :

Syubhat semacam ini dijawab oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dia berkata : “Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah mengenai pembukaan lubang dari makam Nabi hingga ke langit agar turun hujan adalah tidak shahih, juga sanadnya. Sesungguhnya hal itu dinukil oleh orang yang terkenal sebagai pendusta. Di antara yang menjelaskan kedustaan hadits ini adalah semasa hidup Aisyah, rumah beliau tidak memiliki celah (di bagian atas), justru sebagiannya tetap seperti semula ketika Nabi masih hidup, sebagiannya diberi atap dan sebagiannya lagi terbuka, dan sinar matahari masuk ke dalamnya. Hal ini disebutkan dalam ash-shahihain dari Aisyah bahwa Nabi melakukan shalat ashar sedangkan sinar matahari berada di kamar Aisyah dan tidak ada lagi bayangan yang tampak setelah itu.” (Ar-Radd Ala Al-Bakri, 67-68)

Ibnu taimiyah berkata, “Tatkala kamar beliau dibangun pada masa Tabi’in, mereka membiarkan adanya celah di atasnya hingga ke langit.” (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, II/678-679).

Ibun taimiyah menyebutkan bahwa tujuannya adalah agar ada orang yang dapat turun darinya ketika dibutuhkan, untuk tujuan menyapu atau membersihkan, dan terakhir dibangun adalah kubah di atas atap. (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, II/679).

– Syubhat Ketiga

Dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ketika kematian menjemput Umar bin al-Khaththab, dia meminta agar dikuburkan di samping makam nabi, sebagai upaya mencari berkah dengan makam nabi.

Bantahan :

Tindakan Umar tidak dimaksudkan untuk mencari berkah dengan makam nabi yang mulia secara mutlak, tetapi agar dia dekat dengan kedua sahabatnya, yaitu Nabi dan Abu Bakar ash-Shididq setelah wafat, sebagaimana hal itu terjadi semasa hidupnya.

Sebagai penguat, Umar berwasiat kepada puteranya, Abdullah agar dia berkata kepada Aisyah, “Umar bin al-Khaththab meminta izin agar dimakamkan bersama kedua sahabatnya.” Wasiat ini tidak mengandung isyarat untuk mencari berkah dengan makam nabi, akan tetapi hanya mengandung isyarat persahabatan.

Permintaan Umar bukanlah sesuatu yang aneh, karena itu merupakan kebiasaan dua orang yang bersahabat. Karena inilah, sebenarnya Aisyah juga ingin dikuburkan bersandingan dengan suaminya dan ayahnya, Abu Bakar, akan tetapi dia lebih mendahulukan keinginan Umar. Dia menjawab ketika Umar meminta izin kepadanya dengan mengucapkan, “Sebenarnya dulu aku juga menginginkannya untukku, akan tetapi sa’at ini aku lebih mendahulukan hal itu baginya (Umar) atas diriku.”

Demikianlah beberapa syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang yang menyelisihi pendapat jumhur ulama mengenai masalah tabarruk dengan makam Rasulullah disertai dengan sanggahannya. Wallahu a’lam

Sumber : Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), hal 440-442, DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta- See more at: http://aminbenahmed.blogspot.com/2014/11/syubhat-syubhat-tabarruk-dengan-makam.html?m=1#sthash.mKOUESiL.dpuf

http://aminbenahmed.blogspot.com/2014/11/syubhat-syubhat-tabarruk-dengan-makam.html?m=1

______________________

HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN DI KUBURAN

HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN DI KUBURAN

Sebelum kita membahas hukum membaca Al-Qur’an di kuburan, baiknya kita bahas dahulu hukum menghadiahkan baca’an Al-Qur’an kepada mayat.

Para ulama berbeda pendapat, apakah menghadiahkan bacaan Al-Qur’an kepada mayat sampai atau tidak ?.

Pendapat pertama :

Madzhab Hanbali, Hanafi, salah satu riwayat dari Imam Asy-Syafi’i, dan pendapat ulama terakhir dari madzhab Maliki dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa menghadiahkan bacaan Al-Qur’an akan sampai kepada mayat, Al-Bahuti berkata, “Imam Ahmad mengatakan bahwa sampai kepada mayat semua kebaikan, berdasarkan nash-nash yang menunjukkan kepada hal itu, juga karena manusia di negeri-negeri berkumpul membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada mayat tanpa pengingkaran, sehingga menjadi ijma’ mereka”. (Hasyiat Ibnu Abidin, 1/605).

Mereka berdalil dengan beberapa dalil.

Pertama :

Hadits-hadits yang menyebutkan sampainya doa, pahala shadaqah, haji dan puasa, maka di-qiyas-kan kepadanya baca’an Al-Qur’an dan amal shalih lainnya.

Kedua :

Hadits Ma’qil bin Yasaar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ.

“Bacakanlah Yasin kepada mayat-mayat kamu“. (HR Abu Daud dan lainnya).

Namun hadits ini lemah, karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abu ‘Utsman bukan An Nahdi dan ayahnya, keduanya perawi yang majhul. Dan sanadnya juga mudltharib karena sebagian perawi meriwayatkan dari Abu Utsman dari ayahnya dan sebagian lain dari Abu ‘Utsman dari Ma’qil. (Irwaul Ghalil, 3/151, no 688).

Adapun perkataan Al Maqdisi, “Hadits hasan gharib“. Adalah perkataan yang jauh dari kebenaran sebagaimana kita lihat.

Pendapat kedua :

Sedangkan madzhab Maliki dan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa baca’an Al-Qur’an untuk mayat tidak akan sampai.

Dasarnya adalah surat An-Najm ayat 39, dan juga tidak adanya praktik dari Rasulullah dan para shahabatnya bahwa mereka menghadiahkan baca’an Al-Qur’an untuk mayat, padahal para shahabat yang meninggal di zaman Nabi amat banyak. Kalaulah itu sampai dan bermanfaat untuk mayat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengajarkannya kepada umatnya, terlebih beliau amat sayang kepada umatnya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kepada kaum mukminin beliau amat lembut dan penyayang“. (At Taubah: 128).

Adapun qiyas kepada shadaqah, haji dan puasa adalah qiyas dalam masalah ibadah, sedangkan qiyas dalam masalah ibadah adalah qiyas yang batil.

Dan inilah yang di-rajih-kan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir dari kalangan Syafi’iyah, beliau berkata dalam tafsir surat An-Najm ayat 39 : “Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya ber-istinbath bahwa bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayat. Karena itu bukanlah amal mayat bukan juga usahanya, dan Rasulullah tidak pernah menyunnahkan kepada umatnya, tidak juga menganjurkan, atau membimbing kepadanya, baik dengan nash maupun isyarat. Dan tidak pernah dinukil juga dari seorang sahabatpun. Kalaulah itu baik, tentu mereka telah mendahuluinya. Dan bab Al-Qurubat (ibadah) hanya terbatas pada nash (dalil), tidak berlaku padanya qiyas dan ra’yu. Adapun doa dan shadaqah, maka telah disepakati sampainya kepada mayat, dan ditunjukkan oleh nash syariat”. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/356-357, tahqiq Haani Al-Haj).

Dan inilah pendapat yang rajih, karena kalaulah qiyas kepada shadaqah, haji dan puasa serta doa itu diterima, tentu telah diamalkan oleh Rasulullah dan para shahabatnya, atau setidaknya Nabi mengajarkan dan menganjurkannya, namun semua itu tidak ada, kalaulah seorang penuntut ilmu mencari praktiknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sepanjang umur Nabi Nuh, ia tidak akan mendapatkannya, kecuali bila ia mau berani berdusta. Adapun yang dinisbatkan kepada shahabat yang menganjurkan membaca Al-Qur’an di kuburan adalah tidak shahih sebagaimana akan kita jelaskan.

Dan klaim Al-Bahuti bahwa ini adalah ijma’, karena manusia di negeri-negeri berkumpul membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada mayat tanpa pengingkaran, sehingga menjadi ijma’ mereka, adalah klaim yang tertolak, karena khilaf dalam masalah ini masyhur. Sedangkan kaidah yang harus dipahami adalah : Bahwa dalam masalah khilafiyah, kita tidak boleh berhujjah dengan pendapat ulama, hujjah kita adalah Al-Qur’an dan sunnah.

• Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Setelah kita memaparkan hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an, kita lanjutkan dengan pembahasan hukum membaca Al-Qur’an di kuburan.

Sayyid Sabiq berkata dalam Fiqih Sunnah, “Para fuqaha berselisih mengenai hukum membaca Al-Qur’an di kuburan; Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan berpendapat sunnah agar memberikan keberkahan padanya, dan disetujui oleh Al-Qadli ‘Iyadl dan Al-Qarafi dari Malikiyah, dan Ahmad memandang tidak apa-apa”. (Fiqih Sunnah, 1/559).

Al-Khallaal meriwayat dari jalan Rauh bin Al -dari Al-Hasan bin Ash-Shobbah ia berkata, “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang membaca di sisi kuburan? Beliau menjawab, “Tidak apa-apa”. (Al-Qiraah ‘Indal Qubur, 1/7 no 6).

Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah meragukan keabsahan riwayat dari Imam Asy-Syafi’i, beliau berkata dalam kitab Iqtidla (1/380 tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi), “Tidak mahfudz dari Asy-Syafi’i sendiri pembicaraan dalam masalah ini, karena yang demikian itu menurutnya adalah bid’ah, dan Malik berkata, ‘Aku tidak mengetahui seorangpun yang melakukannya”.

Dan pernyataan Sayyid Sabiq bahwa Imam Ahmad memandang tidak apa-apa, bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud darinya dalam kitab Masail-nya (hal 158), beliau berkata, “Aku mendengar Ahmad ditanya tentang membaca (Al-Qur’an) dikuburan ? Beliau menjawab, “Tidak boleh”.

Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad rujuk darinya, yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Khallaal akhbarani Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq haddatsana Ali bin Musa Al Haddaad, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari pada suatu jenazah, ketika mayat telah dikuburkan, ada seorang lelaki buta duduk membaca Al-Qur’an di sisi kubur, maka Imam Ahmad berkata kepadanya, “Wahai, sesungguhnya membaca di kuburan adalah bid’ah”. Ketika kami telah keluar dari perkuburan, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu mengenai Mubasyir Al-Halabi ?” Ia menjawab, “Tsiqah”. Muhammad berkata, “Apakah engkau menulis sesuatu darinya ?” Ia menjawab, “Ya”. Muhammad berkata, “Mubasyir mengabarkan dari Abdurrahman bin Al-’Alaa bin Al-Lajlaaj dari ayahnya bahwa ia mewasiatkan apabila telah dikubur, agar dibacakan di kepalanya permulaan surat Al-Baqarah dan akhirnya, dan berkata, ‘Aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian.’ Maka Ahmad berkata kepadanya, “Kembalilah, dan katakan kepada orang buta itu, ‘Bacalah kembali”.

Akan tetapi hikayat ini tidak shahih, karena Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraaq tidak diketahui siapa ia (majhul), demikian juga Ali bin Musa Al-Haddaad. Sehingga tidak dapat mengalahkan kekuatan riwayat Abu Dawud di atas. (Lihat Ahkaamul Janaiz, hal 243-245).

• Dalil-dalil Pendapat yang Membolehkan

Yang terpenting bagi kita adalah melihat dalil-dalil dari kedua pendapat tersebut, karena telah kita sebutkan bahwa dalam masalah khilafiyah, kita tidak boleh berhujjah dengan pendapat ulama, hujah kita adalah Alquran dan sunnah.

Dalil-dalil pendapat yang membolehkan adalah sebagai berikut :

Pertama :

Hadits Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati dua buah kuburan, lalu Nabi mengabarkan bahwa penghuni kuburan tersebut sedang di ‘adzab, kemudian beliau mengambil pelepah kurma dan menyobeknya menjadi dua, lalu menanamkannya pada dua kuburan tadi, beliau bersabda : “Semoga diringankan adzabnya selama kedua pelepah itu belum kering”. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur’an di sisi kuburan, karena menurut beliau apabila diharapkan adzabnya diringankan karena tasbihnya pelepah, maka membaca Al-Qur’an lebih utama lagi. (Syarah Shahih Muslim, 3/202).

Kedua :

Hadits yang artinya, “Barang siapa yang melewati perkuburan lalu membaca qul huwallahu ahad sebelas kali, kemudian memberikan pahalanya kepada para mayat, maka akan diberikan pahala sesuai dengan jumlah mayat”. (HR. Al-Khallaal).

Ketiga :

Hadits yang artinya, “Apabila seseorang dari kamu meninggal, maka janganlah ditahan, dan bersegeralah untuk dikuburkan, dan bacakan di sisi kepalanya Al-Fatihah dan di sisi kakinya akhir surat Al-Baqarah dikuburnya”. (HR. Ath Thabrani 12/445 no 13613) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 9294. Dari jalan Yahya bin Abdullah Al-Babalti dari Ayyub bin Nahik Al-Halabi dari ‘Atha bin Abi Rabah dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat :

Perbuatan Ibnu Umar, dari jalan Mubasyir mengabarkan dari Abdurrahman bin Al-’Alaa bin Al-Lajlaaj dari ayahnya bahwa ia mewasiatkan apabila telah dikubur, agar dibacakan di kepalanya permulaan surat Al-Baqarah dan akhirnya, dan berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian”. Sebagaimana telah berlalu.

Kelima :

Asy-Sya’bi berkata, “Adalah kaum Anshar apabila seseorang meninggal, mereka pergi bergantian ke kuburannya untuk membacakan Al-Qur’an”. Dikeluarkan oleh Al-Khallaal dalam kitab Al Qira’ah ‘Indal Qubuur (1/8 no 7) dari jalan Mujalid bin Sa’id dari Asy-Sya’bi.

Keenam :

Alquran adalah berkah, maka bila dibacakan di kuburan, diharapkan dengan keberkahan Al-Qur’an dapat memberikan manfaat kepada penghuni kubur.

• Jawaban terhadap dalil-dalil diatas :

Bila kita perhatikan, dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah, penjelasannya sebagai berikut :

Dalil pertama,

Tentang kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanam pelepah kurma yang telah disobek menjadi dua, alasan dijadikan hujjah untuk membolehkan adalah karena pelepah itu bertasbih sebagaimana Allah menyebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa segala sesuatu di bumi dan di langit bertasbih memuji-Nya, sehingga bisa dijadikan dalil bolehnya membaca Al-Qur’an di kuburan.

Namun alasan ini amat lemah dari beberapa sisi :

Bila alasannya karena tasbih pelepah, tentu nabi tidak akan menyobeknya agar menjadi cepat kering, karena semakin lama kering berarti semakin lama diringankan adzabnya. Bila alasannya demikian, tentu nabi tidak akan menanam pelepah, akan tetapi beliau menanam pohon agar lebih lama lagi diringankan adzabnya. Bila demikian, maka mayat yang paling bahagia adalah mayat yang paling banyak pohonnya, karena dedaunannya lebih banyak bertasbih, dan ini aneh dan batil.

Yang shahih, bahwa alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanam pelepah tersebut adalah dalam rangka memberikan syafaat kepadanya, dan ini kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu para ulama shahabat tidak ada yang memahami seperti apa yang dipahami oleh Imam An-Nawawi rahimahullah. Dan tidak ada satupun shahabat yang memahami dari hadits tersebut bolehnya membacakan Al-Qur’an di sisi kubur, kalaulah itu baik, tentu mereka yang pertama kali melakukannya.

Dalil yang kedua,

Adalah hadits yang palsu, berasal dari naskah Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari Ali Ar Ridla dari ayah-ayahnya, dipalsukan oleh Abdullah atau ayahnya sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal, dan diikuti oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (3/252), juga As-Suyuthi dalam Dzail Al Ahadits Al Maudlu’ah dan beliau menyebutkan hadits ini, dan diikuti juga oleh Ibnu ‘Arraaq dalam Tanzih Asy Syari’atil Marfu’ah. (Lihat Ahkaam Janaiz, hal 245).

Dalil yang ketiga,

Adalah hadits yang sangat lemah, karena di dalamnya terdapat dua perawi yang lemah, yang pertama adalah Yahya bin Abdullah Al-Babalti, ia perawi yang lemah. Al Azdi berkata, “Kelemahan padanya sangat jelas”. Dan Abu Hatim berkata, “Tidak dianggap”. (Al-Mughni fi Dlu’afa, 2/739). Dan yang kedua adalah Ayyub bin Nahiik Al Halabi ia dianggap lemah oleh Abu Hatim, dan Al Azdi berkata, “Matruk”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat dan berkata: “Yukhti (suka salah)”. (Lisanul Mizan, 1/490).

Dalil yang keempat,

Yaitu atsar Ibnu Umar adalah lemah juga. Karena ia berasal dari periwayatan Abdurrahman bin Al ‘Alaa bin Al Lajlaaj, ia perawi yang majhul karena tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Mubasyir. Dan Al Hafidz berkata dalam taqrib-nya: “Maqbul”. Artinya diterima apabila di-mutaba’ah, dan jika tidak maka haditsnya lemah. Dan di sini ia tidak di-mutaba’ah.

Dalil yang kelima,

Yaitu atsar Asy Sya’bi adalah lemah juga, karena ia dari periwayatan Mujalid bin Sa’id, Al Hafidz berkata dalam taqrib-nya : “Laisa bil qawiyy (tidak kuat), berubah hafalannya di akhir umurnya”. Imam Ahmad berkata: “Laisa bisyai (tidak ada apa-apanya)”. Ibnu Ma’in berkata: “Tidak bisa dijadikan Hujah”. Dan Ad Daraquthni berkata: “Dla’if”. (Al Mughni fi Dlu’afa, 2/542).

Dalil yang keenam adalah dalil yang membutuhkan dalil, artinya memang benar bahwa Al-Qur’an itu berkah, namun untuk dibacakan kepada mayat di kuburan membutuhkan kepada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan ternyata tidak ada. Terlebih telah kita rajihkan bahwa baca’an Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayat.

• Dalil-dalil Pendapat yang Melarang

Pertama :

Hadits Abu Hurairah, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang dibanyakan padanya surat Al-Baqarah“. (HR Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukan tempat untuk membaca Al-Qur’an, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan rumah seperti kuburan yang tidak dibacakan padanya Alquran.

Kedua :

Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berziarah ke perkuburan Baqi’, namun tidak disebutkan disana bahwa beliau membaca Al-Qur’an di kubur.

Di antaranya hadits Aisyah ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju Baqi’ untuk mendoakan mereka, lalu Aisyah menanyakannya, beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mendoakan mereka”.

Tidak disebutkan dalam hadits-hadits itu bahwa beliau membaca Al-Qur’an di kuburan. Kalau itu baik, tentu beliau melakukannya dan diperintahkan kepadanya.

Ketiga :

Hadits-hadits yang mengajarkan apa yang harus dibaca di perkuburan, di antaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Aisyah bertanya kepada beliau apa yang harus dibaca di kuburan, maka beliau mengajarkan salam dan doa, dan tidak mengajarkan untuk membaca Al-Fatihah atau surat lain dari Alquran, dan kaidah ushul fiqih menyebutkan : “Meninggalkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah tidak boleh”.

Kalaulah itu baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi waallam mengajarkannya kepada ‘Aisyah dan shahabat-shahabat lainnya.

Keempat :

Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ikut menguburkan sebagian shahabat, seperti penguburan anaknya dan juga hadits Al-Bara’ bin Malik yang panjang yang menceritakan tentang bagaimana kematian orang beriman dan orang kafir, tidak disebutkan dalam hadits-hadits tersebut bahwa beliau mengajarkan untuk membaca surat Al-Fatihah atau surat lainnya, kalau itu dilakukan oleh beliau, pastilah banyak shahabat yang menceritakannya.

Kelima :

Tidak adanya praktik dari seorangpun shahabat Nabi, oleh karena itu Imam Malik berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang melakukannya”.

Ketika para shahabat tidak ada yang melakukannya, padahal pendorong untuk itu amat kuat, dan tidak ada perkara yang menghalangi mereka, itu menunjukkan bahwa itu tidak disyariatkan.

Dan inilah pendapat yang rajih, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Dan yang dilakukan di zaman ini, dimana kaum muslimin membacakan Al-Qur’an di perkuburan, dengan jumlah hari tertentu, dan tarip tertentu, bahkan dinyalakan lampu-lampu di sana, tidak diragukan lagi akan kebid’ahannya. Karena perbuatan tersebut tidak ada seorangpun dari para ulama madzhab yang membolehkannya.

Allahul musta’an.

Penulis : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.

====================

KEDUSTA’AN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

KEDUSTA’AN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

Salah satu kisah yang hampir selalu ada bersamaan dengan syubhat tentang tawassul dan tabarruk adalah kisah tabarruknya Imam Asy-Syafi’i di kuburan Abu Hanifah.

Tulisan ini akan membahas secara ilmiah sisi kelemahan riwayat kisah tersebut disertai bukti pertentangannya dengan keyakinan Imam Asy-Syafi’i, maupun Abu Hanifah dan pengikut madzhabnya sendiri terkait hal-hal yang dibenci dilakukan terhadap kuburan, disertai dengan dalil hadits Nabi yang melarang perbuatan pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hidayahNya kepada kita semua….

Syubhat :

[[ Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad) ]]

Bantahan :

Mengenai sanad riwayat tersebut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany menyatakan : “Ini adalah riwayat yang lemah bahkan batil. Karena sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenal. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi. Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakn Abu Muhammad at-Tuunisi. Al-Khotib (al-Baghdady) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhary (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H. Tetapi (al-Khotib) tidaklah menyebutkan jarh (celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaanya tidak dikenal). (Tetapi) kemungkinan (bahwa ia adalah ‘Amr) jauh, karena tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahwa keduanya pernah bertemu” (Lihat Silsilah al-Ahaadits Adh-Dhaifah juz 1 halaman 99).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim halaman 165 :

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل ، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة ، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا ، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين ، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين أفضل من أبي حنيفة وأمثاله من العلماء . فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده . ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم ، ولم يكونوا يتحرون الدعاء لا عند أبي حنيفة ولا غيره .
ثم قد تقدم عند الشافعي ما هو ثابت في كتابه من كراهة تعظيم قبور المخلوقين خشية الفتنة بها ، وإنما يضع مثل هذه الحكايات من يقل علمه ودينه .

“Yang demikian ini telah dimaklumi kedusta’annya secara idlthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Karena sesungguhnya As-Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdo’a di sisinya sama sekali. Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para Ulama’. Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana (kubur Abu Hanifah). Kemudian, para Sahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang sepantaran dengan mereka. Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya. Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) diennya”.

Memang benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwa salah satu bukti jelas kedusta’an kisah tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sendiri :

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“Dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (karena) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya” (lihat al-Majmu’ karya Imam AnNawawi juz 5 halaman 314, al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i sendiri juz 1 halaman 317).

Benar pula perkata’an Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa di masa hidup Imam Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang memungkinkan untuk berdo’a khusus di sisinya. Hal ini karena memang para pemerintah muslim pada waktu itu memerintahkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan pada kuburan, dan sikap pemerintah muslim tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Asy-Syafi’i :

وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك

“Dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’ (Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” (Lihat kitab al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz 1 halaman 316, al-Majmu’ karya Imam AnNawawy juz 5 halaman 298).

Sikap para pemimpin muslim yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan tersebut memang sesuai dengan hadits Nabi :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Dari Jabir beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan di’lepa’ (semen/kapur), diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya”(H.R Muslim).

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata, Ali (bin Abi Tholib) berkata kepadaku : Maukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku ? Janganlah engkau tinggalkan patung / gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang diagungkan kecuali diratakan”. (H.R Muslim).

Sedikit faidah yang bisa diambil, ketika mensyarah hadits ini Imam AnNawawy menyatakan : Di dalamnya terdapat perintah mengganti / merubah gambar-gambar makhluk bernyawa).

Perhatikan pula kalimat dalam kisah tersebut bahwa Asy-Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari.

Disebutkan dalam kisah itu ”setiap hari”.

Bagi orang yang berakal, dan paham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari kedusta’an kisah tersebut.

Al-Imam Asy-Syafi’i banyak melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau dilahirkan di daerah Gaza (Syam) dan tumbuh besar di tanah suci Mekkah (sebagaimana dijelaskan Adz-Dzahaby dan al-Imam AnNawawi dalam Tahdzib Asma’ Wal Lughot (1/49)).

Beliau mempelajari fiqh awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl. Kemudian beliau pindah ke Madinah menuntut ilmu pada Imam Malik. Selanjutnya beliau pindah ke Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan beberapa ulama’ lain. Dari Yaman beliau menuju Iraq (Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq yaitu Muhammad bin al-Hasan. Beliau mengambil ilmu juga pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang lain. Setelah beberapa lama di Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat baru (qoul qodiim) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ pada bagian yang mengisahkan biografi Imam Asy-Syafi’i).

Perhatikanlah, demikian sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri.

Bagaimana mungkin setiap hari beliau berdo’a di makam Abu Hanifah ?

Bagaimana mungkin jika memang berdo’a di sisi makam dengan tawassul pada penghuni kuburan tersebut diperbolehkan menurut beliau dikhususkan pada makam Abu Hanifah, padahal salah satu tempat menuntut ilmu beliau adalah Madinah, tempat dimakamkannya manusia terbaik, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.

Negeri-negeri lain yang beliau singgahi banyak kuburan para Nabi, para Sahabat Nabi, tabi’in dan orang-orang yang jauh lebih utama dari Abu Hanifah, maka mengapa beliau mengkhususkan pada kuburan Abu Hanifah ?

Padahal beliau tidaklah pernah mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah.

Bagaimana bisa mengambil ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau ?

Selanjutnya, akan disebutkan penjelasan dari Ulama’ lain bahwa kisah tersebut memang dusta.

Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan : “Hikayat yang dinukilkan dari Asy-Syafi’i bahwa beliau memaksudkan do’a di sisi kuburan Abu Hanifah adalah kedusta’an yang jelas”. (Lihat Ighatsatul Lahafaan (1/246)).

Sebenarnya bagi orang yang mengerti kadar keilmuan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, cukuplah hal itu sebagai penjelas.

Berikut ini ucapan ahlut tafsir Ibnu Katsir tentang guru sekaligus sahabatnya tersebut, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah agar orang-orang yang meremehkannya menjadi sadar.

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan tentang beliau :

ولد في سنة إحدى وتسعين وستمائة وسمع الحديث واشتغل بالعلم وبرع في علوم متعددة لا سيما علم التفسير والحديث والأصلين ولما عاد الشيخ تقي الدين ابن تيمية من الديار المصرية في سنة ثنتي عشرة وسبعمائة لازمه إلى أن مات الشيخ فأخذ عنه علماً جما مع ما سلف له من الاشتغال فصار فريداً في بابه في فنون كثيرة مع كثرة الطلب ليلاً ونهاراً وكثرة الابتهال وكان حسن القراءة والخلق كثير التودد لا يحسد أحداً ولا يؤذيه ولا يستعيبه ولا يحقد على أحد وكنت من أصحب الناس له وأحب الناس إليه ولا أعرف في هذا العالم في زماننا أكثر عبادة منه وكانت له طريقة في الصلاة يطيلها جداً ويمد ركوعها وسجودها

“Beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Banyak mendengar hadits, sibuk dengan ilmu, mahir dalam ilmu yang bermacam-macam khususnya ilmu tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Ushul. Dan ketika Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, beliau bermulazamah (memfokuskan diri untuk belajar pada Ibnu Taimiyyah), sampai meninggalnya Syaikh (Ibnu Taimiyyah), maka beliau mengambil darinya ilmu yang banyak, bersama’an dengan kesibukan beliau sebelumnya, sehingga jadilah beliau orang yang istimewa dalam beberapa bidang yang banyak. Bersamaan dengan banyaknya kesibukan beliau menuntut ilmu siang malam, banyak beribadah, dan beliau baik baca’an (Quran) nya, baik akhlaqnya, memiliki sifat penyayang, tidak pernah dengki pada siapapun, tidak pernah menyakiti siapapun, tidak pernah mencari aib orang lain, tidak pernah dendam pada seorangpun, dan saya termasuk sahabat terdekatnya, dan manusia yang paling dicintainya, dan saya tidak mengetahui di zaman kami ada orang yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan beliau. Beliau jika sholat (sunnah) sangat lama, memanjangkan waktu ruku’ dan sujudnya” (Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah juz 14 halaman 270).

Simaklah persaksian Ibnu Katsir tentang keilmuan dan akhlaq Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah.

Jika Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa hikayat itu dusta, tidaklah penilaian beliau itu bersifat tendensius karena membenci kelompok tertentu sehingga kemudian tidak obyektif. Beliau bukanlah orang yang berakhlak buruk, suka dendam dan mencari aib orang lain. Beliau menilai kedusta’an tersebut atas dasar keilmuan beliau.

Hal lain yang menunjukkan sisi kelemahan kisah itu sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah tidak adanya Sahabat / murid dekat Abu Hanifah yang melakukan hal itu.

Tidak ada di antara mereka yang sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdo’a dan bertawassul agar do’anya lebih mudah dikabulkan. Bagaimana tidak, jika perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk dijadikan perantara dalam do’a seorang hamba kepada Allah.

Al-Imam Abu Hanifah berkata :

لا ينبغي لاحد أن يدعو الله إلا به ، والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ، ما استفيد من قوله تعالى : { ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون{

“Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan do’a yang diijinkan dan diperintahkan adalah apa yang bisa diambil faidah dari firman Allah : Hanya milik Allah asmaa-ul husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Lihat Ad-Durrul Mukhtaar min Haasyiyatil Mukhtaar(6/396-397)).

يكره أن يقول الداعي : أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام

“Adalah suatu hal yang dibenci jika seorang berdoa : Aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam“. (Lihat Syarh Fiqhil Akbar lil Qoori halaman 189).

Kalau kita melihat sikap para Ulama’ Salaf, justru mereka mengingkari perbuatan orang yang berdo’a di sisi makam untuk bertawassul.

Kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin Abi Tholib.

Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushannafnya dan juga Ibnu Abi Syaibah :

عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(

“Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdo’a. Maka Ali bin Husain berkata : ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).

Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang kedusta’an kisah tabarruk Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah.

Perlu dipahami, bahwa jika kita menyatakan secara ilmiah bahwa kisah itu dusta bukan berarti kita menuduh al-Khotib al-Baghdady sebagai pendusta.

Beliau sekedar menyebutkan riwayat. Dalam penyebutan riwayat, beliau mendapat khabar tersebut dari orang yang menyampaikan kepadanya, orang yang menyampaikan kepada beliau mengaku mendapat khabar dari orang yang di ‘atas’nya dan seterusnya.

Telah dijelaskan di atas bahwa pada rantaian perawi kisah tersebut terdapat orang yang majhul (tidak dikenal di kalangan para Ulama’ Ahlul Hadits yang ahli dalam meneliti periwayatan).

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kalimat-kalimat indah yang disampaikan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sebagai pelajaran penting bagi kita semua.

Beliau menyatakan kalimat-kalimat berikut ini :

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بها، ودعوا ما قلته

“Jka kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam maka berbicaralah dengan Sunnah itu dan tinggalkanlah ucapanku”. (Lihat Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (9/106) dan Siyaar a’laamin Nubalaa’ karya Adz-Dzahaby juz 10 halaman 34).

متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا ولم آخذ به، فأشهدكم أن عقلي قد ذهب

“Kapan saja aku meriwayatkan dari Rasulullah hadits shahih kemudian aku tidak berpegang (berpendapat) dengannya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah pergi”. (Lihat Siyar a’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34).

كل ما قلته فكان من رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني

“Semua yang aku ucapkan, jika ada (khabar) yang shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah taklid kepadaku”. (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34, al-Manaaqib karya Adz-Dzahaby (1/473)).

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs http://www.darussalaf.or.id

========================

MENYEMBUNYIKAN KUBURAN ORANG SHALIH AGAR TIDAK DISEMBAH

MENYEMBUNYIKAN KUBURAN ORANG SHALIH AGAR TIDAK DISEMBAH

Yunus bin Bakr berkata dari Muhammad Ishaq dari Abu Khalid bin Dinar, Abul Aliyah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ketika kami menaklukkan Tartar, maka kami mendapatkan sebuah tempat tidur di dalam Baitul Mal Hurmuzan. Di atas tempat tidur tersebut terdapat mayat yang diatas kepalanya terdapat mushaf. Kami mengambil mushaf tersebut dan membawanya ke hadapan Umar bin Khaththab. Lalu Umar memanggil Ka’b. Lantas Ka’b menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.

Dan sayalah orang yang pertama kali dari kalangan bangsa Arab yang membacanya. Aku membacanya seperti membaca Al Quran. Aku bertanya kepada Abul Aliyah: “Apa kandungan mushaf tersebut?” Ia menjawab: “Sejarah, perkara, dan ucapan-ucapan kalian serta segala sesuatu yang akan terjadi setelahnya.” Aku bertanya: Apa yang kalian perbuat terhadap sosok mayat tersebut?” Ia menjawab: “Kami menggali kubur di siang hari sebanyak tiga belas lubang kubur yang berpencar-pencar. Ketika malam tiba, maka kami menguburnya dan kami ratakan seluruh kuburan tersebut agar orang-orang tidak tahu (kuburan yang mana yang kami gunakan) agar mereka tidak membongkarnya.”

Aku berkata: Apa yang mereka (penduduk Hurmuzan) harapkan darinya (mayat tersebut)?” Ia berkata: “Ketika langit tidak menurunkan hujan, maka mereka menampakkan ranjang tersebut, sehingga hujan pun turun untuk mereka.” Aku berkata: “Siapa yang kalian kira sosok tersebut?” Ia menjawab: “Seseorang yang bernama Daniel.” Aku berkata: “Sejak kapan kalian ketahui ia telah meninggal?” Ia menjawab: “Sejak 300 tahun lalu.” Aku bertanya: “Apakah ada perubahan padanya?” Ia menjawab: “Tidak, hanya beberapa helai rambut yang ada di tengkuknya. Sesungguhnya daging para Nabi tidak akan pernah dimakan tanah dan tidak akan dimakan binatang buas.”

Imam Ibnu Katsir berkata: Sanad riwayat diatas shahih dari Abu al Aliyah. Namun jika benar sejarah wafatnya diketemukan setelah 300 tahun berlalu maka ia bukanlah seorang Nabi, tetapi ia adalah orang shalih. Sebab, antara Isa putera Maryam dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak ada seorang Nabi pun berdasarkan nash hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sedangkan rentang waktu antara keduanya adalah 400 tahun. Ada yang mengatakan 620 tahun. Boleh jadi sejarah wafatnya diketemukan setelah 800 tahun, maka masa tersebut sangat dekat dengan masa Daniel. Boleh jadi ia adalah orang lain baik dari kalangan para Nabi maupun dari kalangan orang-orang shalih. Namun, kemungkinan besar ia adalah Daniel, sebab Daniel dahulunya pernah dibawa oleh raja Persia dan hidup bersamanya dalam penjara, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka.

Dalam riwayat lain, Abu Bakr bin Abi ad Dunya berkata dalam kitab Ihkaamu al Qubuur: Abu Hilal Muhammad bin al Harits bin Abdullah bin Abi Burdah bin Abi Musa Al Asy’ariy telah menceritakan kepada kami, Abu Muhammad al Qasim bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, dari Abu al Asy’ats al Ahmariy, ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Daniel berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar jasadnya dikubur oleh umat Muhammad.” Tatkala Abu Musa al Asy’ariy membuka kota Tartar, maka ia mendapatkannya berada di dalam sebuah peti yang masih kelihatan urat-uratnya. Sedangkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang dapat menunjukkan keberadaan Daniel, maka berilah kabar gembira berupa surga baginya.” Sedangkan yang menunjukkan keberadaan Daniel adalah seorang laki-laki yang bernama Harqush. Maka Abu Musa al Asy’ariy menulis sepucuk surat kepada Umar yang mengabarkan kepadanya hal tersebut. Maka Umar menulis surat yang isinya perintah untuk menguburkannya dan memerintahkan agar Harqush menghadap kepada Umar. Sebab Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memberikan kabar gembira kepadanya berupa surga. Dari sisi ini, riwayat di atas adalah mursal namun masih diperselisihkan tentang keshahihannya. Wallahu a’lam.

Kemudian Ibnu Abi ad Dunya berkata: Abu Hilal telah menceritakan kepada kami, Qasim bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, dari Anbasah bin Sa’id, ia adalah seorang alim, ia berkata: “Abu Musa al Asy’ariy mendapatkan sebuah mushaf dan bejana yang berisikan lemak, dirham dan cincin yang ada bersama Daniel. Maka Abu Musa menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Umar yang berisikan masalah barang-barang tersebut. Umar membalas surat tersebut yang berisikan: “Silahkan mushaf dikirim kepada kami. Adapun lemak (gajih), maka sebagian dikirim kepada kami dan sebagian lagi silahkan diberikan kepada sebagian kaum muslimin untuk obat. Sedangkan dirham silahkan dibagi diantara kalian. Sedangkan cincin maka kami telah memberikannya kepadamu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abi ad Dunya bahwasanya ketika Abu Musa mendapatkannya, maka orang-orang mengatakan bahwa ia adalah Daniel. Serta merta Abu Musa memeluk dan menciumnya. Ia menulis kepada Umar yang berisikan masalah tersebut. Ia juga melaporkan bahwa ia juga menemukan sejumlah harta di dekat jasad berupa 10.000 dirham. Setiap orang yang datang pasti meminjam harta tersebut. Namun bila tidak mengembalikan maka si peminjam tersebut akan mengalami sakit. Yang tersisa padanya hanya seperempatnya. Umar memerintahkan kepada orang-orang untuk memandikan jasad tersebut dengan air dan daun bidara, mengafani dan menguburnya. Umar memerintahkan agar menyembunyikan kuburnya yang tidak diketahui oleh seorang pun. Ia juga diperintahkan untuk mengembalikan harta tersebut kepada Baitul Mal. Maka hal tersebut dibawa menghadap Umar, sedangkan cincinnya diberikan kepada Abu Musa.

Diriwayatkan dari Abu Musa bahwasanya ia memerintahkan kepada empat orang tawanan untuk membendung sungai, lalu mereka menggali kubur di tengah-tengah sungai tersebut, lalu menguburkan jasad Daniel. Kemudian Abu Musa menghampiri keempat tawanan tersebut dan membunuh semuanya. Oleh karenanya tidak ada yang mengetahui tempat kuburnya selain Abu Musa al Asy’ariy radhiyallahu anhu.

(Qishashul Anbiya oleh Imam Ibnu Katsir, ditahqiq oleh Abu al Fida’ Ahmad Badruddin).

Lihatlah bagaimana para shahabat menyembunyikan kuburan Nabi Danial agar tidak menjadi fitnah untuk manusia, mereka pun tidak bertawassul kepadanya tidak juga membangunkan sebuah bangunan yang megah untuknya. Bayangkan bila yang menemukannya orang-orang di zaman sekarang, terutama dari kalangan pecinta kuburan, pasti mereka akan membelanya habis-habisan, dan mengeluarkan dana yang banyak untuk membangun bangunan dan menjadikannya sebagai tandingan selain Allah dengan alasan mencintai para Nabi, sungguh amat jauh antara mereka dengan generasi para shahabat. Apa yang dilakukan para shahabat itu adalah yang mereka pahami dari agama yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berupa mentauhidkan Allah dan menjauhkan kesyirikan, dan itulah ruh dan intisari dakwah para Nabi dan Rasul.

Dari riwayat diatas menunjukkan bahwa bolehnya menyembunyikan kuburan orang shalih agar tidak disembah, hal ini untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Apalagi diketahui bahwa kaumnya masih jahil sehingga menjadikan kuburan atau mayat tersebut sebagai sesembahan selain Allah. Wallahul musta’an.

MENYEMBUNYIKAN KUBURAN ORANG SHALIH AGAR TIDAK DISEMBAH

================

YANG SUNNAH (SESUAI TUNTUNAN) ADALAH MEMBUAT MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYAT

YANG SUNNAH (SESUAI TUNTUNAN) ADALAH MEMBUAT MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYAT

Yang sunnah (sesuai tuntunan) adalah para tetangga dan karib kerabat membuatkan makanan bagi keluarga duka, bukan malah sebaliknya justru keluarga duka yang sudah bersedih malah direpotkan untuk menyiapkan makanan apalagi sampai kenduri setelah kematian.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لأقرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لأهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم

“Nash-nash dari Imam As-Syafi’i dalam kitab al-Umm dan kitab al mukhtashor telah sepakat dengan perkataan para ashab (para ulama besar madzhab syafi’iyah) bahwasanya disunnahkan bagi para kerabat mayit dan juga para tetangganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, dimana makanan tersebut bisa mengenyangkan mereka pada siang dan malam mereka.

قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير

Imam As-Syafi’i berkata dalam kitab al-Mukhtashor : “Wajib bagi kerabat mayit dan tetangganya untuk menyediakan makanan bagi keluarga mayat untuk siang dan malam mereka yang bisa mengenyangkan mereka. Hal ini merupakan sunnah dan sikap para pelaku kebaikan”

قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة

Penulis kitab Asy-Syamil dan selain beliau berkata : Adapun keluarga mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan maka tidak dinukilkan (dalilnya) sama sekali. Dan ini adalah perbuatan bid’ah yang tidak dianjurkan.

هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة ” رواه احمد بن حنبل وابن ماجه باسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه

Ini adalah perkataan penulis kitab As-Syamil, dan dalil akan hal ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Kami menganggap berkumpul-kumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya termasuk niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada lafal “setelah dikuburkannya mayat”.

(Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/319-320).

========================