KEDUSTA’AN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

KEDUSTA’AN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

Salah satu kisah yang hampir selalu ada bersamaan dengan syubhat tentang tawassul dan tabarruk adalah kisah tabarruknya Imam Asy-Syafi’i di kuburan Abu Hanifah.

Tulisan ini akan membahas secara ilmiah sisi kelemahan riwayat kisah tersebut disertai bukti pertentangannya dengan keyakinan Imam Asy-Syafi’i, maupun Abu Hanifah dan pengikut madzhabnya sendiri terkait hal-hal yang dibenci dilakukan terhadap kuburan, disertai dengan dalil hadits Nabi yang melarang perbuatan pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hidayahNya kepada kita semua….

Syubhat :

[[ Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad) ]]

Bantahan :

Mengenai sanad riwayat tersebut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany menyatakan : “Ini adalah riwayat yang lemah bahkan batil. Karena sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenal. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi. Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakn Abu Muhammad at-Tuunisi. Al-Khotib (al-Baghdady) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhary (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H. Tetapi (al-Khotib) tidaklah menyebutkan jarh (celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaanya tidak dikenal). (Tetapi) kemungkinan (bahwa ia adalah ‘Amr) jauh, karena tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahwa keduanya pernah bertemu” (Lihat Silsilah al-Ahaadits Adh-Dhaifah juz 1 halaman 99).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim halaman 165 :

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل ، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة ، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا ، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين ، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين أفضل من أبي حنيفة وأمثاله من العلماء . فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده . ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم ، ولم يكونوا يتحرون الدعاء لا عند أبي حنيفة ولا غيره .
ثم قد تقدم عند الشافعي ما هو ثابت في كتابه من كراهة تعظيم قبور المخلوقين خشية الفتنة بها ، وإنما يضع مثل هذه الحكايات من يقل علمه ودينه .

“Yang demikian ini telah dimaklumi kedusta’annya secara idlthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Karena sesungguhnya As-Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdo’a di sisinya sama sekali. Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para Ulama’. Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana (kubur Abu Hanifah). Kemudian, para Sahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang sepantaran dengan mereka. Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya. Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) diennya”.

Memang benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwa salah satu bukti jelas kedusta’an kisah tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sendiri :

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“Dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (karena) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya” (lihat al-Majmu’ karya Imam AnNawawi juz 5 halaman 314, al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i sendiri juz 1 halaman 317).

Benar pula perkata’an Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa di masa hidup Imam Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang memungkinkan untuk berdo’a khusus di sisinya. Hal ini karena memang para pemerintah muslim pada waktu itu memerintahkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan pada kuburan, dan sikap pemerintah muslim tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Asy-Syafi’i :

وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك

“Dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’ (Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” (Lihat kitab al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz 1 halaman 316, al-Majmu’ karya Imam AnNawawy juz 5 halaman 298).

Sikap para pemimpin muslim yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan tersebut memang sesuai dengan hadits Nabi :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Dari Jabir beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan di’lepa’ (semen/kapur), diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya”(H.R Muslim).

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata, Ali (bin Abi Tholib) berkata kepadaku : Maukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku ? Janganlah engkau tinggalkan patung / gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang diagungkan kecuali diratakan”. (H.R Muslim).

Sedikit faidah yang bisa diambil, ketika mensyarah hadits ini Imam AnNawawy menyatakan : Di dalamnya terdapat perintah mengganti / merubah gambar-gambar makhluk bernyawa).

Perhatikan pula kalimat dalam kisah tersebut bahwa Asy-Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari.

Disebutkan dalam kisah itu ”setiap hari”.

Bagi orang yang berakal, dan paham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari kedusta’an kisah tersebut.

Al-Imam Asy-Syafi’i banyak melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau dilahirkan di daerah Gaza (Syam) dan tumbuh besar di tanah suci Mekkah (sebagaimana dijelaskan Adz-Dzahaby dan al-Imam AnNawawi dalam Tahdzib Asma’ Wal Lughot (1/49)).

Beliau mempelajari fiqh awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl. Kemudian beliau pindah ke Madinah menuntut ilmu pada Imam Malik. Selanjutnya beliau pindah ke Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan beberapa ulama’ lain. Dari Yaman beliau menuju Iraq (Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq yaitu Muhammad bin al-Hasan. Beliau mengambil ilmu juga pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang lain. Setelah beberapa lama di Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat baru (qoul qodiim) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ pada bagian yang mengisahkan biografi Imam Asy-Syafi’i).

Perhatikanlah, demikian sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri.

Bagaimana mungkin setiap hari beliau berdo’a di makam Abu Hanifah ?

Bagaimana mungkin jika memang berdo’a di sisi makam dengan tawassul pada penghuni kuburan tersebut diperbolehkan menurut beliau dikhususkan pada makam Abu Hanifah, padahal salah satu tempat menuntut ilmu beliau adalah Madinah, tempat dimakamkannya manusia terbaik, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.

Negeri-negeri lain yang beliau singgahi banyak kuburan para Nabi, para Sahabat Nabi, tabi’in dan orang-orang yang jauh lebih utama dari Abu Hanifah, maka mengapa beliau mengkhususkan pada kuburan Abu Hanifah ?

Padahal beliau tidaklah pernah mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah.

Bagaimana bisa mengambil ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau ?

Selanjutnya, akan disebutkan penjelasan dari Ulama’ lain bahwa kisah tersebut memang dusta.

Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan : “Hikayat yang dinukilkan dari Asy-Syafi’i bahwa beliau memaksudkan do’a di sisi kuburan Abu Hanifah adalah kedusta’an yang jelas”. (Lihat Ighatsatul Lahafaan (1/246)).

Sebenarnya bagi orang yang mengerti kadar keilmuan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, cukuplah hal itu sebagai penjelas.

Berikut ini ucapan ahlut tafsir Ibnu Katsir tentang guru sekaligus sahabatnya tersebut, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah agar orang-orang yang meremehkannya menjadi sadar.

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan tentang beliau :

ولد في سنة إحدى وتسعين وستمائة وسمع الحديث واشتغل بالعلم وبرع في علوم متعددة لا سيما علم التفسير والحديث والأصلين ولما عاد الشيخ تقي الدين ابن تيمية من الديار المصرية في سنة ثنتي عشرة وسبعمائة لازمه إلى أن مات الشيخ فأخذ عنه علماً جما مع ما سلف له من الاشتغال فصار فريداً في بابه في فنون كثيرة مع كثرة الطلب ليلاً ونهاراً وكثرة الابتهال وكان حسن القراءة والخلق كثير التودد لا يحسد أحداً ولا يؤذيه ولا يستعيبه ولا يحقد على أحد وكنت من أصحب الناس له وأحب الناس إليه ولا أعرف في هذا العالم في زماننا أكثر عبادة منه وكانت له طريقة في الصلاة يطيلها جداً ويمد ركوعها وسجودها

“Beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Banyak mendengar hadits, sibuk dengan ilmu, mahir dalam ilmu yang bermacam-macam khususnya ilmu tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Ushul. Dan ketika Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, beliau bermulazamah (memfokuskan diri untuk belajar pada Ibnu Taimiyyah), sampai meninggalnya Syaikh (Ibnu Taimiyyah), maka beliau mengambil darinya ilmu yang banyak, bersama’an dengan kesibukan beliau sebelumnya, sehingga jadilah beliau orang yang istimewa dalam beberapa bidang yang banyak. Bersamaan dengan banyaknya kesibukan beliau menuntut ilmu siang malam, banyak beribadah, dan beliau baik baca’an (Quran) nya, baik akhlaqnya, memiliki sifat penyayang, tidak pernah dengki pada siapapun, tidak pernah menyakiti siapapun, tidak pernah mencari aib orang lain, tidak pernah dendam pada seorangpun, dan saya termasuk sahabat terdekatnya, dan manusia yang paling dicintainya, dan saya tidak mengetahui di zaman kami ada orang yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan beliau. Beliau jika sholat (sunnah) sangat lama, memanjangkan waktu ruku’ dan sujudnya” (Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah juz 14 halaman 270).

Simaklah persaksian Ibnu Katsir tentang keilmuan dan akhlaq Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah.

Jika Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa hikayat itu dusta, tidaklah penilaian beliau itu bersifat tendensius karena membenci kelompok tertentu sehingga kemudian tidak obyektif. Beliau bukanlah orang yang berakhlak buruk, suka dendam dan mencari aib orang lain. Beliau menilai kedusta’an tersebut atas dasar keilmuan beliau.

Hal lain yang menunjukkan sisi kelemahan kisah itu sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah tidak adanya Sahabat / murid dekat Abu Hanifah yang melakukan hal itu.

Tidak ada di antara mereka yang sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdo’a dan bertawassul agar do’anya lebih mudah dikabulkan. Bagaimana tidak, jika perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk dijadikan perantara dalam do’a seorang hamba kepada Allah.

Al-Imam Abu Hanifah berkata :

لا ينبغي لاحد أن يدعو الله إلا به ، والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ، ما استفيد من قوله تعالى : { ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون{

“Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan do’a yang diijinkan dan diperintahkan adalah apa yang bisa diambil faidah dari firman Allah : Hanya milik Allah asmaa-ul husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Lihat Ad-Durrul Mukhtaar min Haasyiyatil Mukhtaar(6/396-397)).

يكره أن يقول الداعي : أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام

“Adalah suatu hal yang dibenci jika seorang berdoa : Aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam“. (Lihat Syarh Fiqhil Akbar lil Qoori halaman 189).

Kalau kita melihat sikap para Ulama’ Salaf, justru mereka mengingkari perbuatan orang yang berdo’a di sisi makam untuk bertawassul.

Kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin Abi Tholib.

Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushannafnya dan juga Ibnu Abi Syaibah :

عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(

“Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdo’a. Maka Ali bin Husain berkata : ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).

Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang kedusta’an kisah tabarruk Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah.

Perlu dipahami, bahwa jika kita menyatakan secara ilmiah bahwa kisah itu dusta bukan berarti kita menuduh al-Khotib al-Baghdady sebagai pendusta.

Beliau sekedar menyebutkan riwayat. Dalam penyebutan riwayat, beliau mendapat khabar tersebut dari orang yang menyampaikan kepadanya, orang yang menyampaikan kepada beliau mengaku mendapat khabar dari orang yang di ‘atas’nya dan seterusnya.

Telah dijelaskan di atas bahwa pada rantaian perawi kisah tersebut terdapat orang yang majhul (tidak dikenal di kalangan para Ulama’ Ahlul Hadits yang ahli dalam meneliti periwayatan).

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kalimat-kalimat indah yang disampaikan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sebagai pelajaran penting bagi kita semua.

Beliau menyatakan kalimat-kalimat berikut ini :

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بها، ودعوا ما قلته

“Jka kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam maka berbicaralah dengan Sunnah itu dan tinggalkanlah ucapanku”. (Lihat Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (9/106) dan Siyaar a’laamin Nubalaa’ karya Adz-Dzahaby juz 10 halaman 34).

متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا ولم آخذ به، فأشهدكم أن عقلي قد ذهب

“Kapan saja aku meriwayatkan dari Rasulullah hadits shahih kemudian aku tidak berpegang (berpendapat) dengannya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah pergi”. (Lihat Siyar a’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34).

كل ما قلته فكان من رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني

“Semua yang aku ucapkan, jika ada (khabar) yang shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah taklid kepadaku”. (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34, al-Manaaqib karya Adz-Dzahaby (1/473)).

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs http://www.darussalaf.or.id

========================

MENGIRIM PAHALA BACA’AN AL-QUR’AN TIDAK SAMPAI MENURUT PARA ULAMA

MENGIRIM PAHALA BACA’AN AL-QUR’AN TIDAK SAMPAI MENURUT PARA ULAMA

1. An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت…….. ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi…… Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].

2. Al-Haitsami dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah telah berkata :

الميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.

“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami 2/9].

3. Ibnu Katsiir dalam Tafsirnya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata :

أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء

”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13: 279).

Hukum Mengirim Pahala kepada Mayit

_____

Tahlilan Sarana Silaturahmi ?


بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Sebagian orang membolehkan tahlilan orang meninggal karena ia dianggap sebagai ajang silaturahmi antar sesama warga yang sangat jarang bertemu disebabkan kesibukan mereka masing-masing.

Jawaban atas pendapat ini adalah sebagai berikut:

Acara tahlilan memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal bukanlah merupakan bagian dari syariat Islam sama sekali. Buktinya, betapa banyak kaum muslimin yang meninggal pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم hidup, namun tidak ada satu riwayat yang shahih pun yang menerangkan bahwa beliau menyelenggarakan acara tersebut. Beliau juga tidak pernah mengajarkan para sahabat mengenai hal ini. Oleh karena itu, tidaklah boleh bagi kita untuk melakukan ritual ibadah yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم karena hal tersebut dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Apabila kita ingin melakukan silaturahmi dengan masyarakat, maka Islam sendiri telah mengatur tata caranya, di antaranya adalah dengan mengucapkan salam bila bertemu, saling mengunjungi, menghadiri shalat berjamaah di mesjid, bergotong royong, menjenguk tetangga yang sakit, dan lain sebagainya. Masih banyak cara syar’i yang bisa kita tempuh, tanpa harus melakukan hal-hal yang dilarang di dalam Islam. Kalau memang tahlilan itu bermanfaat sebagai ajang silaturahmi dan baik di mata syariat, niscaya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat pasti telah membuat tahlilan setiap ada yang meninggal.

Perlu diketahui, bahwasanya bukan hanya ibadah yang perlu mencocoki syariat, akan tetapi kebudayaan dan kebiasaan pun haruslah tidak boleh sampai menyelisihi syariat. Apabila kita menjumpai penyelisihan syariat di dalam suatu budaya atau kebiasaan maka wajib bagi kita untuk meninggalkannya karena kita selaku hamba Allah dituntut untuk taat kepada hukum-Nya.

وبالله التوفيق

Mengaku madzhab Imam Syafi’i tapi menentang pendapatnya

APAKAH PANTAS ORANG YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI’I, AKAN TETAPI AMALANNYA MENYELISIHINYA???

I. TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

Acara Tahlilan yaitu: acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, adalah merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat, atau dengan kata lain telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air kita.

Dalam acara tersebut, lazimnya dibacakan ayat‑ayat al‑Qur’an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dan lain-lain, dengan niat pahala bacaan‑bacaan tersebut dihadiahkan kepada mayit tertentu atau arwah kaum muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri ialah; bahwa pada umumnya mereka -baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut‑ikutan- mengaku bermazhab Syafi’i. Namun ironisnya, -setelah merujuk kepada kitab-kitab madzhab Syafi’i- ternyata keyakinan mereka ini justru tidak sesuai dengan pendapat para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, termasuk Imam asy-Syafi’i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut, maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW, serta petunjuk shahabat‑shahabatnya.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah tentang masalah dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab tafsir, fiqih dan syarah hadits, yang penulis pandang mu’tabar (dijadikan pegangan) di kalangan para pengikut madzhab Syafi’i.

1. Pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim :

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أنَّهُ لاَ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيَّتِ … وَدَلِيْلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيْهِ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى(. وَقَوْلُ النَّبِيِّ: SAW “إِذِا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ”)).

“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai kepada mayit yang dikirimi… adapun dalil Imam asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya, adalah firman Allah SWT (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, juga sabda Nabi SAW: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdoa untuknya” [1].

2. Juga as-Subki di dalam kitab Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab mengatakan:

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَجَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ وَالصَّلاَةُ عَنْهُ وَنَحْوُهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهَا لاَ تَلْحَقُ الْمَيِّتَ وَكَرَّرَ ذَلِكَ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ)).

“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengganti shalatnya mayit[2] dan sebagainya, Imam asy-Syafi’i dan jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah berulangkali disebutkan (oleh Imam an-Nawawi) di dalam kitab Syarah Muslim” [3].

3. Al-Haitsami, di dalam kitabnya: Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, menjelaskan:

((الْمَيِّتُ لاَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ, مَبْنِيٌّ عَلَىمَا أطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ تَصِلُهُ -أَيْ الْمَيِّتَ- ِلأنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ، وَالثَّوَابُ المُرَتَّبُ عَلَى عَمَلٍ لاَ يُنْقَلُ عَنْ عَامِلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)).

“Mayit tidak boleh dibacakan atasnya, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak akan sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Adapun pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari ‘amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, adalah berdasarkan firman Allah SWT (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri” An-Najm: 39″[4].

4. Imam al-Muzani, di dalam Hamisy Al-Umm, mengatakan demikian:

((فَأَعْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ SAW كَمَا أعْلَمَ اللهُ مِنْ أَنَّ جِنَايَةَ كُلِّ امْرِئٍ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّ عَمَلَهُ لَهُ لاَ لِغَيْرِهِ وَلاَ عَلَيْهِ)).

“Rasulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang diberitahukan Allah SWT; bahwa (ganjaran atas) dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, sebagaimana pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain” [5].

5. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:

((وَالمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لاَ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا)).

“Dan yang masyhur dalam madzab Syafi’i, bahwa bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak sampai kepada mayit yang dikirimi ” [6].

6. Di dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan demikian:

((فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعِيِ غَيْرِهِ الْخَيْرِ شَيْء ٌ)).

“Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari amal kebaikan orang lain ” [7].

6. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):

((أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ SAW أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ y, وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ)).

“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai , karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya. Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di’otak-atik’ dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra’yu (rasio)” [8].

Demikian beberapa nukilan pendapat ulama Syafi’iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala qira’ahkepada mayit. Yang ternyata menunjukkan bahwa mereka mempunyai satu pandangan, yaitu: bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit itu tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Lebih-lebih lagi kalau yang dibaca selain Al Qur’an, tentu saja lebih tidak akan sampai.

Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.

Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan; bagaimana jika setiap usai tahlilan kita berdo’a: Allahumma aushil tsawaaba maa qara’naahu ilaa ruuhi fulan (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sebagai berikut: Di depan telah dijelaskan bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SWT dalam ayat 39 dari surat an-Najm. Adalah sangat janggal, kalau kita mengirimkan pahala bacaan kepada mayit -yang berarti kita telah melanggar syari’at-Nya- lantas kemudian kita mohon agar perbuatan yang melanggar syari’at itu diberi pahala, dan lebih dari itu mohon agar pahalanya disampaikan kepada roh orang lain!

Jadi, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu sisi do’a adalah ibadah, dan di sisi lain amalan mengirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia yang berarti melanggar syari’at. Apalagi jika amalan semacam itu kita mohonkan agar diberi pahala, lantas pahalanya disampaikan kepada roh orang lain.Wallahu a’lam.

II. SELAMATAN KEMATIAN

Selamatan adalah: berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga mayit -baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan seterusnya-, maupun dalam upacara yang sifatnya masal, yang lazimnya dilakukan di pekuburan yang biasa disebut haul, yang di situ juga diadakan acara makan-makan.

Tidak jauh berbeda dengan tahlilan, sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi’iyah -baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits- maka akan kita dapatkan bahwa amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan “terlarang” atau dengan kata lain “haram”.

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi’i sendiri, atau kalaupun ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak. Maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan para ulama Syafi’iyah tentang masalah ini.

1. Imam asy-Syafi’i tidak menyukai adanya kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab al-Umm:

((وَأَكْرَهُ الْمَأْثَمَ؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ, وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَإنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ)).

“Aku tidak menyukai ma’tsam; yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga si mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru” [9].

2. Di dalam kitab fiqih I’anah ath-Thalibin dinyatakan demikian:

((نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا)).

“Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah munkarah (bid’ah yang diingkari agama) dimana orang yang memberantasnya akan mendapatkan pahala” [10].

Pengarang juga menjelaskan:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاجْتِمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Dan apa yang menjadi kebiasaan sebagian orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid’ah makruhah (yang tidak disukai dalam agama), sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena telah shahih perkataan Jarir t: “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) (yakni haram -pen)” [11].

3. Dalam kitab Barzanjiyah:

((وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقُبُوْرِ)).

“Dan makruh menghidangkan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan (seperti dalam peringatan haul -pen)” [12].

4. Di dalam kitab fiqih Mughni al-Muhtaj disebutkan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ, وَرَوَى أحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدُ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتَمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalahbid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: “Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga si mayit untuk acara itu, adalah termasuk niyahah(meratapi mayit), (yakni haram -pen)” [13].

5. Di dalam kitab fiqih Hasyiyah al-Qalyubi, dinyatakan demikian:

((قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى “الْكِفَارَةَ” وَمَنْ صَنَعَ طَعَامًا لِلاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أوْ بَعْدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ)).

“Syeikh kami Ar-Ramli berkata: “Diantara bid’ah munkarah (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci untuk dikerjakan -sebagaimana diterangkan di dalam kitab ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan banyak orang dan disebut: “kifarah”, penghidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit sebelum maupun sesudah kematian, juga penyembelihan (hewan) di kuburan” [14].

6. Di dalam kitab fiqih karangan Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, antara lain dikatakan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهُ شَيْءٌ, وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرِ مُسْتَحَبَّةٍ)).

“Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah tidak ada dalilnya sama sekali, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan)” [15].

7. Dalam kitab al-Jamal Syarah al-Minhaj:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاس مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأرْبَعِيْنَ, بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ)).

“Dan diantara bid’ah munkarah yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang seperti wahsyah (kesedihan yang berlebih-lebihan), berkumpul (di rumah keluarga mayit saat kematian) dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram ” [16].

8. Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَنْكَرَةٌ مَكْرُوْهَةٌ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعِ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Apa yang menjadi kebiasaan banyak orang, berupa menghidangkan makanan untuk mengundang orang banyak ke rumah keluarga si mayit, adalah bid’ah munkarah makruhah (yang tidak dibenarkan agama dan tidak disukai), sebab karena telah shahih perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat Nabi SAW) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah, (yakni haram -pen)” [17].

9. Fatwa Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut:

((وَلاَ شَكَّ أنَّ مَنْعَ النَّاسَ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإمَاتةٌ ِللْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرِ مِنْ أبْوَابِ الْخِيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِ. فَإنَّ النَّاسَ َيتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إلَى أنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا)).

“Dan tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarah ini adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi SAW, memberantas bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Sesungguhnya orang-orang telah terlalu memaksakan diri mereka, sehingga membuat hal itu diharamkan” [18].

10. Dan di dalam kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, dinyatakan demikian:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اْلآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ أوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ)).

“Dan di antara bid’ah makruhah (yang dibenci) ialah: apa yang dikerjakan sebagian orang dengan memotong binatang-binatang ketika mayit dikeluarkan dari tempat persemayaman, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan untuk orang-orang yang ta’ziyah (melayat)” [19].

Demikian pendapat para ulama Syafi’iyah tentang selamatan kematian, yang menunjukkan kesepakatan mereka bahwa amalan tersebut adalah bid’ah yang munkar. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma’) para sahabat Nabi SAW, yang menganggap haram amalan tersebut.

Lagipula sedekah itu akan lebih tepat mengenai sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, jika tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan, tapi langsung diberikan kepada kaum fakir miskin. Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka. Ini kalau dipandang dari segi kepentingan materiil para fakir miskin.

Ditambah lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbis al-haq bi al-bathil(mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil); sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan agama, sedang di pihak lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga si mayit adalah haram, juga mengirim pahala bacaan itu sendiri perbuatan sia-sia (tabdzir). Wallahu a’lam.

III. SANTUNAN UNTUK KELUARGA SI MAYIT

Menurut sunnah Nabi SAW, tetanggga keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang keluarganya, dianjurkan agar membantu meringankan beban penderitaan lahir maupun batin; dengan memberikan santunan berupa bahan makanan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Imam Asy-Syafi’i, di dalam kitabnya Al-Umm, antara lain mengatakan demikian ;

((وَأُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ أوْ ذِيْ قَرَابَتِهِ أنْ يَعْمَلُوا ِلأهْلِ الْمَيِّتِ فِيْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَايُشْبِعُهُمْ وَإنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ)).

“Dan aku menyukai bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, agar membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka. Dan amalan yang demikian itu adalah sunnah” [20].

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan adanya riwayat dari Abdullah bin Ja’far:

((قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرِ (رضي الله عنه): لَمَا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ SAW: “اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ آتَاهُمْ مَا يَشْغُلُهُمْ)).

“Abdullah bin Ja’far t berkata: Tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja’far, Nabi SAW bersabda: “Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja’far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyibukkan mereka” [21].

Hadis ini menunjukkan, bahwa menurut sunnah Nabi SAW, kaum muslimin, baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu, dengan cara memberikan bantuan berupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i menganjurkan juga kepada kaum muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini karena hal itu sesuai dengan sunnah Nabi SAW

Sementara menurut tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini, masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Asy-Syafi’i tersebut; yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dsb dengan menyediakan hidangan makanan disertai acara tahlilan, yang justru selain keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi’iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW, juga memberatkan keluarga si mayit dan mem’perbaharui’ kesedihan mereka.

KESIMPULAN

1. Bahwa menurut pendapat ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi’i, tahlilan atau acara mengirim pahala bacaan kepada mayit/roh tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.

2. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’anul al-Karim, ayat 39 dari surat an-Najm, yang artinya: “Bahwa manusia tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri”. Sunnah Nabi SAW juga menegaskan hal ini.
3. Bahwa kalau tahlilan tersebut tidak dapat sampai, maka amalan-amalan tersebut -apabila tetap dikerjakan- berarti sia-sia, sedang Islam melarang umatnya berbuat sesuatu yang sia-sia (maa laa ya’ni= sesuatu yang tidak ada gunanya), atau juga dapat diartikan sebagai tabdzir.
4. Bahwa acara selamatan atau berkumpul dan menikmati hidangan di rumah keluarga mayit, menurut ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi’i adalah “terlarang”. Di antara mereka ada yang mengatakan sebagai bid’ah munkarah, yakni bid’ah yang tidak diakui dalam Islam. Ada yang mengatakan bid’ah ghairu mustahabbah, yakni bid’ah yang tidak pernah disunatkan, dan ada yang mengatakan bid’ah makruhah, yakni bid’ah yang tidak disukai.
5. Bahwa pernyataan bid’ah munkarah artinya adalah bahwa perbuatan itu haram hukumnya.
6. Bahwa haramnya selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah berdasarkan atsar shahih dari seorang Sahabat Nabi SAW; Jarir bin Abdillah, yang mengatakan, “Kami (para shahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk acara itu oleh keluarga mayit, adalah termasuk niyahah, (yakni haram).”
7. Bahwa hukum haramnya berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah disepakati (telah menjadi ijma’) para pahabat Nabi SAW, sebab Jarir mengatakan: ” menganggap…”. Dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.
8. Bahwa menurut sunnah Nabi SAW, jika ada keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang anggotanya, maka kepada kaum muslimin, baik sebagai sanak kerabat atau sebagai tetangga, hendaknya memberikan santunan dengan memberikan bahan makanan semampunya, terutama terhadap keluarga yang tidak mampu atau miskin.
9. Akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa tradisi yang berjalan di masyarakat Islam tanah air kita, yang berupa tahlilan dan selamatan kematian pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dst adalah bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yakni Qur’an dan sunnah Nabi SAW.

والله أعلم بالصواب ، وبالله التوفيق والهداية، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Fote Note:

[1] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal 90.

[2] Menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya -pen.

[3] As Subki, Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 10, hal 426.

[4] Al-Haitsami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz 2, hal 9.

[5] Asy- Syafi’i, Hamisy al-Umm, juz 7, hal 269.

[6] AI Khazin, al-Jumal, juz 4, hal 236.

[7] Tafsir al-Jalalain, jilid 2, hal 197.

[8] Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, surat an-Najm, ayat 39.

[9] Asy-Syafi’i, al-Umm, juz 1, hal 348.

[10] I’anah ath-Thalibin Syarah Fath al-Mu ‘in, juz 2, hal 145.

[11] Op. Cit, juz 2, hal 146.

[12] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 146.

[13] Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal 268.

[14] Hasyiyah al-Qalyubi, juz 1, hal 353.

[15] Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 5, hal 286.

[16] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[17] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[18] Dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146

[19] Abdurrahman al-Jaza’iri, al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal 539.

[20] As Syafi’i, Al-Umm, juz 1, hal. 247.

[21] Op. Cit.

http://cikopotrans.blogspot.com/2010/12/inilah-pendapat-imam-syafii-yg.html?m=1