Tahlilan Sarana Silaturahmi ?


بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Sebagian orang membolehkan tahlilan orang meninggal karena ia dianggap sebagai ajang silaturahmi antar sesama warga yang sangat jarang bertemu disebabkan kesibukan mereka masing-masing.

Jawaban atas pendapat ini adalah sebagai berikut:

Acara tahlilan memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal bukanlah merupakan bagian dari syariat Islam sama sekali. Buktinya, betapa banyak kaum muslimin yang meninggal pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم hidup, namun tidak ada satu riwayat yang shahih pun yang menerangkan bahwa beliau menyelenggarakan acara tersebut. Beliau juga tidak pernah mengajarkan para sahabat mengenai hal ini. Oleh karena itu, tidaklah boleh bagi kita untuk melakukan ritual ibadah yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم karena hal tersebut dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Apabila kita ingin melakukan silaturahmi dengan masyarakat, maka Islam sendiri telah mengatur tata caranya, di antaranya adalah dengan mengucapkan salam bila bertemu, saling mengunjungi, menghadiri shalat berjamaah di mesjid, bergotong royong, menjenguk tetangga yang sakit, dan lain sebagainya. Masih banyak cara syar’i yang bisa kita tempuh, tanpa harus melakukan hal-hal yang dilarang di dalam Islam. Kalau memang tahlilan itu bermanfaat sebagai ajang silaturahmi dan baik di mata syariat, niscaya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat pasti telah membuat tahlilan setiap ada yang meninggal.

Perlu diketahui, bahwasanya bukan hanya ibadah yang perlu mencocoki syariat, akan tetapi kebudayaan dan kebiasaan pun haruslah tidak boleh sampai menyelisihi syariat. Apabila kita menjumpai penyelisihan syariat di dalam suatu budaya atau kebiasaan maka wajib bagi kita untuk meninggalkannya karena kita selaku hamba Allah dituntut untuk taat kepada hukum-Nya.

وبالله التوفيق

Mengaku madzhab Imam Syafi’i tapi menentang pendapatnya

APAKAH PANTAS ORANG YANG MENGAKU BERMADZHAB SYAFI’I, AKAN TETAPI AMALANNYA MENYELISIHINYA???

I. TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)

Acara Tahlilan yaitu: acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, adalah merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat, atau dengan kata lain telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air kita.

Dalam acara tersebut, lazimnya dibacakan ayat‑ayat al‑Qur’an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dan lain-lain, dengan niat pahala bacaan‑bacaan tersebut dihadiahkan kepada mayit tertentu atau arwah kaum muslimin pada umumnya.

Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri ialah; bahwa pada umumnya mereka -baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut‑ikutan- mengaku bermazhab Syafi’i. Namun ironisnya, -setelah merujuk kepada kitab-kitab madzhab Syafi’i- ternyata keyakinan mereka ini justru tidak sesuai dengan pendapat para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, termasuk Imam asy-Syafi’i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut, maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW, serta petunjuk shahabat‑shahabatnya.

Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah tentang masalah dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab tafsir, fiqih dan syarah hadits, yang penulis pandang mu’tabar (dijadikan pegangan) di kalangan para pengikut madzhab Syafi’i.

1. Pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim :

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أنَّهُ لاَ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيَّتِ … وَدَلِيْلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيْهِ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى(. وَقَوْلُ النَّبِيِّ: SAW “إِذِا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ”)).

“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, pahalanya tidak sampai kepada mayit yang dikirimi… adapun dalil Imam asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya, adalah firman Allah SWT (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, juga sabda Nabi SAW: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdoa untuknya” [1].

2. Juga as-Subki di dalam kitab Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab mengatakan:

((وَأمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَجَعْلُ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ وَالصَّلاَةُ عَنْهُ وَنَحْوُهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُوْرُ أنَّهَا لاَ تَلْحَقُ الْمَيِّتَ وَكَرَّرَ ذَلِكَ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ)).

“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit, mengganti shalatnya mayit[2] dan sebagainya, Imam asy-Syafi’i dan jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah berulangkali disebutkan (oleh Imam an-Nawawi) di dalam kitab Syarah Muslim” [3].

3. Al-Haitsami, di dalam kitabnya: Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, menjelaskan:

((الْمَيِّتُ لاَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ, مَبْنِيٌّ عَلَىمَا أطْلَقَهُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ تَصِلُهُ -أَيْ الْمَيِّتَ- ِلأنَّ ثَوَابَهَا لِلْقَارِئِ، وَالثَّوَابُ المُرَتَّبُ عَلَى عَمَلٍ لاَ يُنْقَلُ عَنْ عَامِلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: )وَأَنْ لَّيْسَ لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)).

“Mayit tidak boleh dibacakan atasnya, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak akan sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Adapun pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari ‘amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, adalah berdasarkan firman Allah SWT (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri” An-Najm: 39″[4].

4. Imam al-Muzani, di dalam Hamisy Al-Umm, mengatakan demikian:

((فَأَعْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ SAW كَمَا أعْلَمَ اللهُ مِنْ أَنَّ جِنَايَةَ كُلِّ امْرِئٍ عَلَيْهِ كَمَا أَنَّ عَمَلَهُ لَهُ لاَ لِغَيْرِهِ وَلاَ عَلَيْهِ)).

“Rasulullah SAW telah memberitahukan sebagaimana yang diberitahukan Allah SWT; bahwa (ganjaran atas) dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, sebagaimana pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain” [5].

5. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:

((وَالمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لاَ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا)).

“Dan yang masyhur dalam madzab Syafi’i, bahwa bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak sampai kepada mayit yang dikirimi ” [6].

6. Di dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan demikian:

((فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعِيِ غَيْرِهِ الْخَيْرِ شَيْء ٌ)).

“Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikit pun dari amal kebaikan orang lain ” [7].

6. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):

((أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ SAW أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ y, وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ)).

“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai , karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya. Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di’otak-atik’ dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra’yu (rasio)” [8].

Demikian beberapa nukilan pendapat ulama Syafi’iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala qira’ahkepada mayit. Yang ternyata menunjukkan bahwa mereka mempunyai satu pandangan, yaitu: bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit itu tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Lebih-lebih lagi kalau yang dibaca selain Al Qur’an, tentu saja lebih tidak akan sampai.

Kalau sudah jelas, bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir.

Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan; bagaimana jika setiap usai tahlilan kita berdo’a: Allahumma aushil tsawaaba maa qara’naahu ilaa ruuhi fulan (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sebagai berikut: Di depan telah dijelaskan bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai kepada roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SWT dalam ayat 39 dari surat an-Najm. Adalah sangat janggal, kalau kita mengirimkan pahala bacaan kepada mayit -yang berarti kita telah melanggar syari’at-Nya- lantas kemudian kita mohon agar perbuatan yang melanggar syari’at itu diberi pahala, dan lebih dari itu mohon agar pahalanya disampaikan kepada roh orang lain!

Jadi, hal ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu sisi do’a adalah ibadah, dan di sisi lain amalan mengirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia yang berarti melanggar syari’at. Apalagi jika amalan semacam itu kita mohonkan agar diberi pahala, lantas pahalanya disampaikan kepada roh orang lain.Wallahu a’lam.

II. SELAMATAN KEMATIAN

Selamatan adalah: berkumpul dan menikmati hidangan makanan di rumah keluarga mayit -baik pada saat hari kematian, hari kedua, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan seterusnya-, maupun dalam upacara yang sifatnya masal, yang lazimnya dilakukan di pekuburan yang biasa disebut haul, yang di situ juga diadakan acara makan-makan.

Tidak jauh berbeda dengan tahlilan, sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi’iyah -baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits- maka akan kita dapatkan bahwa amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan “terlarang” atau dengan kata lain “haram”.

Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi’i sendiri, atau kalaupun ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak. Maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan para ulama Syafi’iyah tentang masalah ini.

1. Imam asy-Syafi’i tidak menyukai adanya kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab al-Umm:

((وَأَكْرَهُ الْمَأْثَمَ؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ, وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَإنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ)).

“Aku tidak menyukai ma’tsam; yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga si mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru” [9].

2. Di dalam kitab fiqih I’anah ath-Thalibin dinyatakan demikian:

((نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا)).

“Ya, apa yang dikerjakan kebanyakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga si mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah munkarah (bid’ah yang diingkari agama) dimana orang yang memberantasnya akan mendapatkan pahala” [10].

Pengarang juga menjelaskan:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاجْتِمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Dan apa yang menjadi kebiasaan sebagian orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid’ah makruhah (yang tidak disukai dalam agama), sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena telah shahih perkataan Jarir t: “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) (yakni haram -pen)” [11].

3. Dalam kitab Barzanjiyah:

((وَيُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إلَى الْقُبُوْرِ)).

“Dan makruh menghidangkan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan (seperti dalam peringatan haul -pen)” [12].

4. Di dalam kitab fiqih Mughni al-Muhtaj disebutkan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ, وَرَوَى أحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه بِإسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدُ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتَمَاعَ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصنْعَهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalahbid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan, dan dalam hal ini Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdillah, ia berkata: “Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga si mayit untuk acara itu, adalah termasuk niyahah(meratapi mayit), (yakni haram -pen)” [13].

5. Di dalam kitab fiqih Hasyiyah al-Qalyubi, dinyatakan demikian:

((قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِي الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى “الْكِفَارَةَ” وَمَنْ صَنَعَ طَعَامًا لِلاِجْتِمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ أوْ بَعْدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ)).

“Syeikh kami Ar-Ramli berkata: “Diantara bid’ah munkarah (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci untuk dikerjakan -sebagaimana diterangkan di dalam kitab ar-Raudlah- adalah apa yang dikerjakan banyak orang dan disebut: “kifarah”, penghidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit sebelum maupun sesudah kematian, juga penyembelihan (hewan) di kuburan” [14].

6. Di dalam kitab fiqih karangan Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, antara lain dikatakan demikian:

((وَأمَّا إصْلاَحُ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهُ شَيْءٌ, وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرِ مُسْتَحَبَّةٍ)).

“Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah tidak ada dalilnya sama sekali, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah (yang tidak pernah disunahkan)” [15].

7. Dalam kitab al-Jamal Syarah al-Minhaj:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاس مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلأرْبَعِيْنَ, بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ)).

“Dan diantara bid’ah munkarah yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang seperti wahsyah (kesedihan yang berlebih-lebihan), berkumpul (di rumah keluarga mayit saat kematian) dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram ” [16].

8. Dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

((وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ إلَيْهِ بِدْعَةٌ مَنْكَرَةٌ مَكْرُوْهَةٌ, لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعِ ِلأهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَام مِنَ النِّيَاحَةِ)).

“Apa yang menjadi kebiasaan banyak orang, berupa menghidangkan makanan untuk mengundang orang banyak ke rumah keluarga si mayit, adalah bid’ah munkarah makruhah (yang tidak dibenarkan agama dan tidak disukai), sebab karena telah shahih perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat Nabi SAW) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah, (yakni haram -pen)” [17].

9. Fatwa Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut:

((وَلاَ شَكَّ أنَّ مَنْعَ النَّاسَ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإمَاتةٌ ِللْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرِ مِنْ أبْوَابِ الْخِيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِ. فَإنَّ النَّاسَ َيتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إلَى أنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا)).

“Dan tidak ada keraguan sedikit pun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarah ini adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi SAW, memberantas bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Sesungguhnya orang-orang telah terlalu memaksakan diri mereka, sehingga membuat hal itu diharamkan” [18].

10. Dan di dalam kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, dinyatakan demikian:

((وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يُفْعَلُ اْلآنَ مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحِ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ أوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَإِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِلتَّعْزِيَةِ)).

“Dan di antara bid’ah makruhah (yang dibenci) ialah: apa yang dikerjakan sebagian orang dengan memotong binatang-binatang ketika mayit dikeluarkan dari tempat persemayaman, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan untuk orang-orang yang ta’ziyah (melayat)” [19].

Demikian pendapat para ulama Syafi’iyah tentang selamatan kematian, yang menunjukkan kesepakatan mereka bahwa amalan tersebut adalah bid’ah yang munkar. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma’) para sahabat Nabi SAW, yang menganggap haram amalan tersebut.

Lagipula sedekah itu akan lebih tepat mengenai sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, jika tidak diwujudkan dalam bentuk selamatan, tapi langsung diberikan kepada kaum fakir miskin. Sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir atau yang diundang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka. Ini kalau dipandang dari segi kepentingan materiil para fakir miskin.

Ditambah lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbis al-haq bi al-bathil(mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil); sebab di satu pihak, sedekah adalah diperintahkan agama, sedang di pihak lain, yakni berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga si mayit adalah haram, juga mengirim pahala bacaan itu sendiri perbuatan sia-sia (tabdzir). Wallahu a’lam.

III. SANTUNAN UNTUK KELUARGA SI MAYIT

Menurut sunnah Nabi SAW, tetanggga keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang keluarganya, dianjurkan agar membantu meringankan beban penderitaan lahir maupun batin; dengan memberikan santunan berupa bahan makanan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.

Imam Asy-Syafi’i, di dalam kitabnya Al-Umm, antara lain mengatakan demikian ;

((وَأُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ أوْ ذِيْ قَرَابَتِهِ أنْ يَعْمَلُوا ِلأهْلِ الْمَيِّتِ فِيْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَايُشْبِعُهُمْ وَإنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ)).

“Dan aku menyukai bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, agar membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka. Dan amalan yang demikian itu adalah sunnah” [20].

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan adanya riwayat dari Abdullah bin Ja’far:

((قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرِ (رضي الله عنه): لَمَا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ SAW: “اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ آتَاهُمْ مَا يَشْغُلُهُمْ)).

“Abdullah bin Ja’far t berkata: Tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja’far, Nabi SAW bersabda: “Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja’far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyibukkan mereka” [21].

Hadis ini menunjukkan, bahwa menurut sunnah Nabi SAW, kaum muslimin, baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu, dengan cara memberikan bantuan berupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i menganjurkan juga kepada kaum muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini karena hal itu sesuai dengan sunnah Nabi SAW

Sementara menurut tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini, masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Asy-Syafi’i tersebut; yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dsb dengan menyediakan hidangan makanan disertai acara tahlilan, yang justru selain keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi’iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW, juga memberatkan keluarga si mayit dan mem’perbaharui’ kesedihan mereka.

KESIMPULAN

1. Bahwa menurut pendapat ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi’i, tahlilan atau acara mengirim pahala bacaan kepada mayit/roh tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.

2. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’anul al-Karim, ayat 39 dari surat an-Najm, yang artinya: “Bahwa manusia tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil amal usahanya sendiri”. Sunnah Nabi SAW juga menegaskan hal ini.
3. Bahwa kalau tahlilan tersebut tidak dapat sampai, maka amalan-amalan tersebut -apabila tetap dikerjakan- berarti sia-sia, sedang Islam melarang umatnya berbuat sesuatu yang sia-sia (maa laa ya’ni= sesuatu yang tidak ada gunanya), atau juga dapat diartikan sebagai tabdzir.
4. Bahwa acara selamatan atau berkumpul dan menikmati hidangan di rumah keluarga mayit, menurut ulama-ulama dari kalangan madzab Syafi’i adalah “terlarang”. Di antara mereka ada yang mengatakan sebagai bid’ah munkarah, yakni bid’ah yang tidak diakui dalam Islam. Ada yang mengatakan bid’ah ghairu mustahabbah, yakni bid’ah yang tidak pernah disunatkan, dan ada yang mengatakan bid’ah makruhah, yakni bid’ah yang tidak disukai.
5. Bahwa pernyataan bid’ah munkarah artinya adalah bahwa perbuatan itu haram hukumnya.
6. Bahwa haramnya selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah berdasarkan atsar shahih dari seorang Sahabat Nabi SAW; Jarir bin Abdillah, yang mengatakan, “Kami (para shahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk acara itu oleh keluarga mayit, adalah termasuk niyahah, (yakni haram).”
7. Bahwa hukum haramnya berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit itu adalah disepakati (telah menjadi ijma’) para pahabat Nabi SAW, sebab Jarir mengatakan: ” menganggap…”. Dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.
8. Bahwa menurut sunnah Nabi SAW, jika ada keluarga yang ditimpa musibah dengan meninggalnya salah seorang anggotanya, maka kepada kaum muslimin, baik sebagai sanak kerabat atau sebagai tetangga, hendaknya memberikan santunan dengan memberikan bahan makanan semampunya, terutama terhadap keluarga yang tidak mampu atau miskin.
9. Akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa tradisi yang berjalan di masyarakat Islam tanah air kita, yang berupa tahlilan dan selamatan kematian pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dst adalah bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yakni Qur’an dan sunnah Nabi SAW.

والله أعلم بالصواب ، وبالله التوفيق والهداية، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Fote Note:

[1] An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal 90.

[2] Menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya -pen.

[3] As Subki, Takmilah al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 10, hal 426.

[4] Al-Haitsami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz 2, hal 9.

[5] Asy- Syafi’i, Hamisy al-Umm, juz 7, hal 269.

[6] AI Khazin, al-Jumal, juz 4, hal 236.

[7] Tafsir al-Jalalain, jilid 2, hal 197.

[8] Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, surat an-Najm, ayat 39.

[9] Asy-Syafi’i, al-Umm, juz 1, hal 348.

[10] I’anah ath-Thalibin Syarah Fath al-Mu ‘in, juz 2, hal 145.

[11] Op. Cit, juz 2, hal 146.

[12] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 146.

[13] Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal 268.

[14] Hasyiyah al-Qalyubi, juz 1, hal 353.

[15] Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 5, hal 286.

[16] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[17] Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146.

[18] Dinukil oleh pengarang I’anah ath-Thalibin dalam juz 2, hal 145-146

[19] Abdurrahman al-Jaza’iri, al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal 539.

[20] As Syafi’i, Al-Umm, juz 1, hal. 247.

[21] Op. Cit.

http://cikopotrans.blogspot.com/2010/12/inilah-pendapat-imam-syafii-yg.html?m=1

BEGINI GAN KUBURAN YANG NYUNNAH DAN SYAR’I (PICS)

Inilah kuburan yg benar2 syar’i dan dicontohkan sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah. Tanpa dibangun / dikeramik, ditulisi, ditinggikan kecuali hanya sejengkal, dan tanpa disembah atau diagungkan. Mudah2an calon rumah kita seperti ini semua, tdk seperti kebanyakan kuburan yg ada di sekeliling  kita.
Padahal kuburan yg ada di foto ini adalah kuburannya orang2 yang memiliki keutamaan di sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum di Baqi’, Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari kuburannya pak RT atau pak Lurah atau Kyai di tempat kita. Seperti inilah yang dapat membuat Islam bertambah Kejayaannya. Subhanallah
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)

Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya… termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”

Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”

Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)

Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)

Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”

Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.

Syaikh Albani ditanya :
“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?

Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.

Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada
pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun
88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan
memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.

Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky: “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78
Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86
Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.

Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi saw dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”

Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah di dalam biliknya.

Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.

Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk
berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya
jumlah kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka
pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”

Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami berkunjung kesana, kami lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini
dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?

Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak meliahat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari uatara ke
selatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”

[Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari
Buku “Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid” Bab. IV/Hal.50-83]

BEGINI GAN KUBURAN YANG NYUNNAH DAN SYAR’I (PICS)

Berkumpul di tempat keluarga mayat menurut Abu Bakr al- Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien

Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al- Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien  menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat , walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa , tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan . Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut , setelah selesai menyampaikan ta’ziyah . (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien
(Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Tahlilan Berasal Dari Budaya Hindu

http://garibblog.files.wordpress.com/2012/07/tahlilan-2.jpgKita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah.

Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri kematian/tahlilan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu.

Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi).

Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi : “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.

Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”.

Telah jelas bagi kita pada awalnya ajaran ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur ajaran seperti ini diperbolehkan??

Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya.

Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya?

Allah berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170)

Allah berfirman :

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (QS Al Baqarah 42)

Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah???

Selanjutnya Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Albaqoroh : 208).

Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah…

TIDA

K SETENGAH HINDU…SETENGAH ISLAM…

http://www.abuayaz.blogspot.com/